Saturday, June 24, 2017

Sejarah Pantai Sanur

            Hai, apa kabar? semoga sehat selalu. Kalian pernah melali ke Bali tidakk? pasti sudah tau kan tentang Pantai Sanur ? nah, kali ini saya akan sedikit memperjelas tentang Pantai Sanur, simak dengan baik ya di bawah ini.

            Pantai Sanur adalah sebuah tempat pariwisata yang sudah sangat terkenal di Pulau Bali dari jaman dahulu. Pada sebuah Prasasti yaitu Prasasti Raja Kasari Warmadewa, menyatakan keindahan Pantai Sanur. Sekarang, Prasasti ini terdapat di daerah Blanjong, atau tepatnya di bagian selatan Pantai Sanur. Pada Masa Kolonial Belanda, Pantai Sanur dijadikan sebagai lokasi pendaratan untuk para tentara Belanda ketika menyerang Kerajaan Badung.


            Pada pertama kalinya, Pantai Sanur dikenal pada dunia Internasional yaitu oleh seorang pelukis yangbernama A. J. Le Mayeur yang berasal dari Belgia, Ia datang ke bali pada tahun 1932, lalu melihat keindahan Pantai Sanur. Setelah melihat keindahan Pantai Sanur, Beliau memutuskan untuk tinggal dan menetap di pantai ini lalu mendirikan sebuah sanggar lukis. Kemudian, Beliau menikah dengan salah satu gadis Bali yang merupakan seorang Penari Legong sekaligus salah satu model lukisannya yang bernama Ni Nyoman Pollok. Melalui lukisan Le Mayeur, Pantai Sanur akhirnya mulai dikenal di dunia. Dan sanggar lukis yang sebelumnya dibangun oleh A. J. Le Mayeur ini kini dijadikan Museum Le Mayeur yang masih berlokasi pada area wisata Pantai Sanur yang dapat dikunjungi oleh siapapun.

                                     

            Pantai Sanur memiliki pemandangan matahari terbit atau biasa disebut sunrise yang sangat indah. Dengan bentuknya yang melengkung, Pantai Sanur memiliki hamparan pasir putih yang membentang membuat mata meleleh dengan melihat keindahannya. Apalagi sambil menikmati detik-detik terbitnya matahari serta pemandangan pulau nusa penida yang letaknya tepat disebelah tenggara Pulau Bali dan ditemani oleh secangkir minuman hangat yang membuat hati dan pikiran lebih tenang dan damai.

            Pantai Sanur terletak di Desa Sanur, Denpasar. Jarak Pantai ini kurang lebih sekitar 6 kilometer dari Pusat Kota Denpasar, dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Disekitaran Pantai Sanur, terdapat beberapa hotel berbintang dan berbagai macam restoran, maka dari itu jika anda ingin berkunjung, anda tidak perlu khawatir karena di Kawasan Pantai Sanur terdapat banyak tempat beristirahat seperti hotel yang disebutkan tadi dan penginapan. Selain itu, disana juga terdapat warung makan dan banyak pula kios-kios yang menjual barang-barang unik yang dibuat oleh penduduk Bali berupa kesenian dari wilayah Bali. Tak lupa juga, disana terdapat pula toko oleh-oleh khas Pantai Sanur. Sekian informasi tentang Pantai Sanur, semoga berguna dan dapat menambah wawasan anda. Dan tak lupa saya meminta maaf bila ada kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Wednesday, April 12, 2017

Misteri Barong dan Rangda Bali


Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik. Kalian sudah tau belum Misteri Barong dan Rangda yang ada di Bali? ini nih ceritanya, simak dengan baik yaa.

Penduduk wilayah Bali memiliki rasa percaya bahwa alam ghaib yang ada di dunia dikuasai oleh RATU GEDE MECALING, yang merupakan Penguasa Laut Selatan Bali. Semua makhluk ghaib yang terdapat adalah bawahan dari RATU GEDE MECALING ini. Pada suatu hari, saat pendeta menyarankan masyarakat setempat untuk membuat patung berwujudkan Ratu yang melinggih di Istana Pura Dalem Ped, yang berada di Nusa Penida. Patung ini dibuat untuk makhluk ghaib yang diceritakan sering mengganggu manusia.

Para makhluk ghaib yang sering mengganggu warga setempat mengira, bahwa patung yang dibuat tersebut adalah pemimpin mereka, sehingga mereka pun pergi dan ketakutan. Patung tersebut memiliki badan yang tinggi, hitam, dan besar, dan disertai pula dengan taring yang tajam, Sosok ini dikenal oleh warga dan sering disebut BARONG. Sejak saat itu, warga setempat membuat ritual, yaitu dengan mengelilingi kampung bersama dengan Barong sebagai simbol pencegahan mara bahaya. Barong adalah jelmaan dari makhluk ghaib yang berkuasa di Pulau Bali. Bagi warga Bali, pada setiap hutan dan tanah memiliki penguasa lalu diwujudkan kedalam aneka barong berbentuk hewan seperti singa, babi hutan, harimau, macan, naga, atau hewan lainnya. Di Bali, terdapat banyak Barong yang dipercayai oleh masyarakat, Seperti Barong Ket atau Barong Keket yang merupakan salah satu Barong yang sangat sering dipentaskan oleh masyarakat Bali, terutama warga yang beragama Hindu. Barong Ket atau Keket ini sama halnya seperti manusia, karena Barong ini juga memiliki sosok yaitu pria dan wanita.

Tari Barong menggambarkan pertarungan dari kebaikan (dharma) dengan keburukan (adharma). Kebaikan diwujudkan dengan karakter yang dilakoni oleh Barong, yaitu berupa penari dengan kostum binatang berkaki empat, sedangkan wujud keburukan diwujudkan sebagai sosok yang menyeramkan dan dilengkapi oleh dua taringnya yang tajam, biasanya disebut dengan Rangda.

Terdapat beberapa jenis Tari Barong yang biasanya sering ditampilkan di Bali, diantaranya yaitu; Barong Ket (Keket), Barong Bangkal (Babi), Barong Macan, Barong Landung. Tetapi, diantaranya, jenis-jenis Barong tersebut, Barong Ket (Keket) lah yang paling sering disuguhkan kepada para wisatawan, karena barong tersebut memiliki kostum dan tarian yang cukup lengkap.

Barong biasanya dipentaskan oleh dua penari, seorang penari mengambil posisi di depan dengan memainkan dan menggerakkan kepala serta kaki depan, sementara penari lainnya berada di belakang dengan memainkan kaki belakang dan ekor Barong. Barong Ket tidaklah jauh berbeda dengan Barong sai yang biasanya digunakan sebagai pertunjukan oleh masyarakat Cina. Tetapi, Barong ini berbeda yaitu pada cerita yang dijalankan, yaitu cerita pertarungan diantara Barong dan Rangda dengan dilengkapi dengan tokoh lainnya, seperti Kera, Dewi kunti, Sadewa, serta para pengikut Rangda yang lainnya.

Barong Ket

Sering juga disebut sebagai Barong Keket, Barong ini merupakan Jenis Barong yang paling banyak terdapat di Bali, dan paling sering pula dipentaskan karaena memiliki gerak tari yang lengkap. Pada umumnya, Kostum Barong Keket menggambarkan perpaduan dari harimau, singa, dan lembu. Pada badan Barong Keket dihiasi dengan ornamen ukir-ukiran yang berasal dari kulit, potong-potongan kaca cermin, dan dilengkapi juga dengan bulu-bulu dari serat daun pandan.

Barong Bangkal

Bangkal adalah seekor Babi besar yang umurnya sudah tua, oleh karena itu, Barong yang satu ini menyerupai seekor babi, Barong ini biasa pula disebut dengan Barong Bangkung. Pada umumnya, Barong ini dipentaskan dengan berkeliling di desa atau biasa disebut "Ngelawang" pada hari-hari tertentu, yaitu pada hari yang dianggap keramat dan jika ada wabah penyakit yang menyerang desa.

Barong Landung

Barong Landung merupakan suatu wujud sesuunan yang berwujudkan manusia dengan badan tinggi yang mencapai sekitar 3 meter. Barong Landung tidak sama dengan Barong Ket, karena Barong Landung lebih sakral dan diyakini kekuatannya sebagai pelindung dan juga pemberi kesejahteraan umat. Barong Landung dapat dijumpai disekitar Bali Selatan.

Barong Macan

Barong Macan memiliki bentuk yang dengan seekor macan pada umumnya, dan termasuk kedalam jenis barong yang terkenal dikalangan masyarakat Bali. Barong ini biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu pentasan drama tari semacam Arja serta dilengkapi juga dengan gamelan.

Rangda

Rangda merupakan Ratu dari para Leak yang ada dalam mitologi Bali. Makhluk ini berwajah menyeramkan dengan disertai dengan dua calingnya yang tajam. Biasanya, karakter ini sering menculik serta memakan anak kecil. Rangda merupakan pemimpin pasukan nenek sihir yang jahat untuk memerangi Barong (simbol kekuatan baik).

Maka dari itu, kita tidak boleh meremehkan budaya-budaya yang telah diwariskan, dan jangan pula berbuat jahat kepada siapapun agar tidak selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sekian artikel mengenai Misteri Barong Bali. Jangan lupa berkomentar ya dibawah ini mengenai topik yang satu ini. Jangan lupa share jugaa yaa. Terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Tuesday, April 11, 2017

Tradisi Nyakan Diwang? Dari daerah mana sih asalnya?


Tradisi di Bali memanglah sangat banyak, diantaranya pun ada yang ada yang aneh mungkin menurut kalian. Tetapi, diantara keanehan dan keunikan tersebut, hal itu dilakukan karena memang sudah menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang dan sudah menjadi tradisi didaerah tersebut. Seperti halnya TRADISI NYAKAN DIWANG, pernahkan anda mendengar kalimat tersebut? Tahukah anda bagaimana prosesi berjalannya acara tersebut? yuk simak selengkapnya dibawah ini.


Buleleng adalah suatu Kabupaten yang sangat luas daerahnya, selain banyaknya wisata alam dan kuliner yang terdapat didalamnya, terdapat pula tradisi yang sangat menarik didalamnya, seperti TRADISI NYAKAN DIWANG. Berasal dari namanya yaitu Nyakan dan Diwang, kata Nyakan jika dalam bahasa Bali berarti memasak, dan Diwang berarti diluar. Jadi, Nyakan Diwang ini dapat diartikan sebagai kegiatan memasak yang dilakukan diluar pekarangan atau diluar rumah. Tradisi ini digelar pada saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Hari Nyepi, di beberapa Desa di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, salah satunya yaitu Desa Kayuputih.

BACA JUGA : TRADISI PERANG PANDAN DI KARANGASEM

Tradisi yang digelar ini sangatlah berbeda dengan tradisi lainnya yang ada di Bali. Pada saat Nyiperng telah berakhir, pukul 24.00 wita lampu yang menyinari seluruh rumah mulai menyala. Suasana yang sebelumnya gelap gulita dan tenang kini telah berubah menjadi terang benderang. Pada saat inilah warga mulai keluar dari rumah. Mereka sibuk menyiapkan alat masak untuk dibawa keluar rumah dan melakukan kegiatan "Nyakan Diwang". Hal tersebut dilakukan secara serempak oleh seluruh masyarakat. Anak-anak pun tidak ingin melewatkan kegiatan unik yang rutin digelar setiap tahun ini. Pada saat melakukan Tradisi Nyakan Diwang, selain ada yang sibuk menghidupkan api, ada juga yang hanya mengobrol dan bercanda dengan orang tuanya.

Saat keadaan itulah suasana dan rasa kekeluargaan mulai terasa. Antara warga satu dan warga lainnya pun saling mengunjungi, lalu bercanda gurau, dan bertegur sapa sambil menghangatkan diri didekat api yang menyala oleh kayu bakar. Selain itu, pria kalangan dewasa pun memilih untuk berjalan disekitaran desa dengan berjalan kaki. Seorang warga menjelaskan, bahwa  Tradisi Nyakan Diwang ini sudah ada dari dulu dengan turun temurun. Belum diketahui secara pasti kapan tradisi tersebut ini muncul. Meskipun demikian, masyarakat didaerahnya pun tetap rutin menjalankannya setiap tahun. ungkapnya.



Tradisi Nyakan Diwang ini sangat unik dan baik untuk diajalankan, karena selain dapat menikmatinya bersama keluarga, kita juga mendapatkan banyak hal positif bagi masyarakat yang melaksanakannya. Seperti; mendekatkan diri dengan warga lainnya, agar hubungan didalam keluarga lebih erat dan harmonis. Tetapi, karena diiringi dengan perkembangan jaman, beberapa masyarakat hanya memilih untuk menghidupkan api pada tungku yang sudah disiapkan diluar rumah pada saat pengrupukan, sementara kegiatan memasak dilakukan ditempat biasa, yaitu di dapur. Tokoh masyarakat yaitu I Wayang Suteja, mengatakan bahwa kegiatan Nyakan Diwang sudah dilakukan sejak 1950-an, yaitu pada saat dirinya masih menduduki bangku Sekolah Dasar (SD). Orang tuanya mengaku tidak mengetahui asal-muasal kemunculan Tradisi tersebut.

Selain itu, Bendesa Desa Adat Kayuputih yaitu Jero Nyoman Oka mengatakan, "Selain digunakan untuk media silahturahmi, tradisi ini juga dapat dikaitkan dengan penyucian diri. Karena pada jaman dahulu, sejumlah warga ada yang melaksanakan Nyepi di dalam pekarangan, serta ada juga yang melaksanakannya di luar pekarangan. Nah, pada saat warga yang melakukan Penyepian diluar pekarangan ini berkunjung ke warga yang melakukan kunjungan ke warga yang melakukan kegiatan di dalam pekarangan, disambut dengan api terlebih dahulu sebelum masuk kedalam rumah. Hal ini bertujuan untuk penyucian, api itu sekalian digunakan untuk memasak oleh warga. Terangnya.

Selain Tradisi Nyakan Diwang, Tradisi yang ada didaerah kalian pun harus diperhatikan dan dilestarikan agar anak dan cucu kita nanti dapat mengetahuinya. Sekian artikel mengenai TRADISI NYAKAN DIWANG, semoga dapat menambah wawasan anda, dan semoga berguna untuk kedepannya. Terima kasih telah berkunjung, mohon maaf bila ada kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. sekali lagi terima kasih.

Friday, April 7, 2017

Tradisi Perang Apii

Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik, Kalian sudah tahu bukan, di Bali terdapat banyak aneka ragam tradisinya di wilayah masing-masing. Nah, bagaimana jadinya jika tradisi itu berupa perang? mungkin bakal hancur ya daerah itu, hehe. Enggak sampe hancur kok perang ini cuma sederhana, ingin tau perang apa itu? yuk simak di bawah ini. Mungkin, jika kalian mendengar kata perang pikiran anda langsung tertuju pada jaman dahulu atau sebelum Indonesia merdeka. Nah, bagaimana jika perang itu dilakukan setiap tahunnya? bahkan perang ini merupakan tradisi di daerah Karangasem, yaitu tepatnya di Desa Jasri. Perang apakah itu?


Sering disebut dengan Terteran, Perang ini merupakan perang yang menggunakan api sebagai senjatanya. Wahh, serem juga yah, Perang Api ini digelar setiap dua tahun sekali yaitu pada tahun bilangan genap, hal ini terkait dengan digelarnya upacara desa Aci Muu-Muu yang diselenggarakan setiap Pangerupukan yang jatuh pada Tilem Kesanga, atau sehari sebelum Hari Nyepi. Tradisi ini dilakukan untuk menetralisir roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia.

BACA JUGA : TRADISI UNIK PERLOMBAAN KERBAU

Perang Api diawali dengan sekitar 50 orang laki-laki, baik tua maupun muda dari para pemangku, prajuru desa dan beberapa pengikut lainnya, pakaian yang digunakan berupa kain putih serta kepala yang terikat oleh daun enau lalu berangkat dengan berjalan kaki menuju ke Pantai Jasri yang berlokasi sekitar 500 meter di sebelah desa untuk melarung caru. Mereka lalu kembali ke desa pada saat malam hari ketika gelap gulita menyelimuti bumi. Tak ada satupun cahaya penerang yang terlihat pada saat itu, baik di jalan maupun di rumah. Pada saat memasuki perempatan jalan, tepatnya di Patung Salak, mereka yaitu pembawa caru atau sering disebut dengan Wong Bedolot itu dihadang serta dilempari dengan obor oleh puluhan warga desa. Lemparan obor ini dilakukan sebagai bentuk penetralisiran, karena pada saat kembalinya dari kegiatan melarung dipercaya bahwa masih diikuti oleh beberapa roh jahat yang dapat mengganggu lingkungan, dan jika tidak atau belum dinetralisir para Wong Bedolot tidak boleh memasuki wilayah desa.



Pada saat itu, suasana yang tergambar pun sangat kelam dan tegang, apalagi disertai dengan tanpa adanya penerangan, jadi merinding dehh. Pelemparan obor dilakukan di tiga lokasi sepanjang jalan dari pantai menuju ke Puri Bale Agung. Pada saat dilempari obor, para Wong Bedolot tidak boleh melawan, hanya diperbolehkan untuk menangkis menggunakan obor yang mereka bawa. Jika obor yang digunakan untuk melempar itu telah habis, Wong Bedolot pun sudah terlepas dan bebas dari cengkraman lemparan obor dari warga, lalu bergegas dan berlari menuju ke Pura Bale Agung. Setelah para pembawa caru serta pengiringnya sampai di Pura Bale Agung, sekitar jam 19.00 barulah digelar yaitu "Perang Api" massal tersebut yang dilakukan di sepanjang jalan raya yang bertepatan di depan Balai Masyarakat Jasri. Medan Perang hanyalah boleh digunakan oleh dua kelompok yang saling berhadapan yaitu kearah utara-selatan yang dipisahkan oleh batas wilayah berupa bentangan daun enau yang diikat di dua buah penjor yang saling berhadapan pula di sebelah timur dan barat jalan raya.

Api yang digunakan untuk perang tersebut berupa obor yang berupa seikat daun kelapa yang telah kering dan berukuran sekitaran 80 cm. Di dalam ikatan daun kelapa tersebut terdapat sebatang kayu yang berukuran seperampat dari panjang obor yang digunakan, dimaksudkan agar lemparan jauh lebih cepat dan keras. Para pelaku adalah laki-laki baik tua maupun muda yang tidak mengenakan baju, yaitu hanya mengenakan kain atau celana.  Perang dimulai dengan tanda berupa peluit yang dibunyikan oleh petugas Terteran, mereka menyerang dan saling lempar dengan bergantian. Api dari obor itu pun terbang kesana kemari dari atas maupun bawah, bahkan sampai mengenai tubuh teman sendiri. Semburan api dari obor tersebut pun sangat indah bagaikan kunang-kunang di kegelapan malam.

Peperangan bisa mencapai sekitar satu jam, dan berlangsung hingga babak ke tiga. Para peserta berhenti melakukan kegiatan lempar melempar ketika peluit dibunyikan saat berakhirnya babak ketiga, dan peperangan berakhir ketika api pada obor tersebut telah padam. Perang tanding Terteran tidak hanya dilakukan pada saat Pangerupukan, tetapi setelah dua harinya yaitu pada saat Ngembak Geni kembali dilaksanakan. Hal itu dilakukan kembali untuk memberikan kesempatan bagi warga yang belum sempat menyaksikan atau mengikuti perang tanding tersebut.


Selain di Desa Jasri, Perang Api juga dilaksanakan di Banjar Saren Kauh, Bebandem, Karangasem. Tetapi, disana sedikit berbeda, yaitu pada obor yang dipakai, yaitu menggunakan sambuk. Pelaksanaan perang ini pada saat Tilem Kedasa, Lampu jalan di wilayah tersebut pun dipadamkan, suasana menjadi memanas ketika sejumlah pemuda saling bertatap muka di depan Pura Sega, tak sedikitpun perasaan mereka gentar saat akan dilakukan peperangan tersebut. Tanpa diawali dengan tanda apapun, tiba-tiba ada seorang pemuda yang melempar serabut kelapa kering yang telah dibakar ke arah lawannya, sehingga ada salah seorang peserta mengenai punggungnya. Lalu, lemparan tersebut dibalas dengan lemparan yang sama pula, aksi itupun berlanjut dan menyita perhatian warga sekitar. Sesekali teriakan penonton terdengar mengejek pada saat lemparan tidak mengenai sasaran. Meski begitu, tak ada satupun para pemuda yang melakukan perkelahian.




Para peserta yang terlibat peperangan itu sama sekali tidak melengkapi dirinya dengan pelindung. Meskipun sakit atau pegal-pegal yang dirasa, Perang Api ini pun sama sekali tidak menyisakan dendam di hari para peserta. Para Pemuda melakukan pergelaran Perang Api hanya sebagai ritual semata, dan memang disengaja untuk tidak menyalakan lampu saat peperangan berlangsung agar tidak saling mengenali satu sama lain. Perang api ini sudah menjadi tradisi masyarakat dusun adat setempat, para pendahulu dusun adat itu tidak tahu tahun berapa ritual itu dimulai pertama kali. Namun, mereka mempercayai bahwa ritual tersebut mampu mendatangkan kedamaian bagi masyarakat setempat.

Seorang pemangku di Pura Batur yang berlokasi di Desa Adat Saren mengungkapkan, ritual Terteran dilakukan pada saat bulan mati, yaitu pada rangkaian "Usabha Dalem" di Pura Sega. Rangkaian tersebut diperingati setiap tahun, tetapi Terteran dilakukan tiga hari berturut-turut hanya satu kali dalam dua kali perayaan Usabha Dalem. Maka dari itu, tidak heran jika masyarakat selalu menantikan perang tersebut. Sekianlah informasi mengenai TRADISI PERANG API. Terimakasih telah berkunjung, semoga dapat menambah wawasan anda dan berguna kedepannya. Mohon maaf bila ada kesalahan, jika ada saran dan kritik bisa disampaikan melalui kolom komentar dibawah ini. Jangan Lupa SHARE ya, biar kita yang tinggal di wilayah Bali tidak lupa akan Tradisi di wilayah masing-masing.

Sumber : _pandejuliana_

Thursday, April 6, 2017

Tradisi Mbed-mbedan di Desa Adat Semate, Mengwi, Badung.

Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik, kalian sudah tahu kan tidak sedikit tradisi yang sering dilaksanakan oleh umat Hindu, terutama di Bali, seperti contohnya : tradisi Makepung di Jembrana, Tradisi Perang Pandan di Karangasem, dan banyak tradisi lainnya. Tetapi, dari itu semua ada beberapa tradisi unik yang akan kita bahas nanti, tradisi apakah itu? yuk simak di bawah ini.

Masyarakat yang tinggal di daerah Kapal, tepatnya di Desa Adat Semate, mempercayai mengenai Tradisi yang hampir sama dengan tarik tambang, yang merupakan warisan turun-temurun dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Tradisi yang satu ini diadakan setiap satu tahun sekali, tepatnya pada saat sehari setelah NYEPI atau biasa disebut dengan Ngembak Geni. Konon, Tradisi ini sudah ada sekitaran 1474 Masehi yaitu pada saat melakukan kegiatan melaspas saat berdirinya Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Semate.

BACA JUGA : TRADISI PERANG API

Tradisi ini sering disebut dengan Mbed-mbedan. Tradisi Mbed-Mbedan sempat tidak dilaksanakan selamat bertahun-tahun, lalu Tradisi Mbed-mbedan kembali dilaksanakan pada tahun 2011 pada sasih kedasa, tepatnya pada saat Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Nyepi. Tradisi ini dilaksanakan guna untuk memohon keselamatan dan anugerah dari Hyang Betara. Dengan menghaturkan upakara berupa daksina suci pada Pura uang menjadi sungsungan di Desa Adat Semate.

Sebelum melaksanakan kegiatan perang ini kembali, para tokoh masyarakat menelusuri kegiatan tersebut, dengan melakukan penelusuran sejarah Desa Adat Semate sampai ke Ahli Lontar di daerah Munggu dan Kapal, Mengwi. Selanjutnya, setelah enam tahun melakukan penelusuran, akhirnya asal usul Desa Adat Semate pun ditemukan dalam Kitab Raja Purana, dengan dikisahkannya yaitu seorang Rasi yang melakukan perjalanan suci ke sebuah hutan angker yang banyak ditumbuhi oleh Kayu Putih.


Rsi tersebut bernama Rsi Mpu Bantas. Di hutan tersebut beliau lalu bertemu dengan para keturunan dari Mpu Gnijaya lalu bertanya "mengapa mereka berada di wilayah hutan yang ditumbuhi kayu putih ini?", lalu keturuanan dari Mpu Gnijaya itu pun menjawab, bahwa mereka berada ditempat iru karena mereka tidak sependapat dengan tindakan dari rajanya. Lalu, karena Rsi Mpu Bantas mengetahui bahwa hutan tersebut angker, maka beliau lantas menyarankan keturunan Mpu Gnijaya untuk membuat tempat pemujaan agar selamat dari marabahaya yang terdapat di hutan tersebut.
Medengar hal tersebut dan beberapa pengarahan dari Rsi Mpu Bantas, keturunan dari Mpu Gnijaya tersebut pun membuat tempat pemujaan. Setelah selesai membuat, orang-orang pun melakukan pertemuan untuk menentukan nama dari Pura tersebut. Tetapi, pertemuan tersebut tidak berlangsung dengan lancar dan terjadilah tarik ulur antara warga yang mengikuti pertemuan tersebut. Setelah beberapa saat dan nama pun belum ditentukan, Rsi Mpu Bantas lalu memberikan saran Nama dari tempat pemujaan tersebut yaitu "Putih Semate", dinamakan demikian karena "Putih" didapat pada kayu-kayu yang tumbuh diwilayah tersebut yang berwarna putih, dan "Semate" diambil karena keturunan dari Mpu Gnijaya telah bersatu di dalam pikiran, serta tidak mau tunduk dengan orang lain.

Setelah kejadian tersebut, tempat pemujaan yang telah menjadi Pura itu dan desa tersebut pun diupacarai pada tahun Çaka 1936. Sebelum Rsi Mpu Bantas meninggalkan Desa Semate, beliau berpesan bahwa "Hai anak-anakku sekalian, Karena dalam mengadakan musyawarah selalu terjadi tarik ulur dalam mengambil suatu keputusan, wajib kalian melakukan upacara Mbed-mbedan setiap tahunnya, yaitu pada sasih kedasa tanggal pisan atau  Sehari setelah nyepi, untuk memohon keselamatan dan anugerah Hyang Betara dengan menhaturkan upakara berupa daksina suci pada Pura yang telah menjadi sungsungan kalian dan lengkap dengan segehan".

Kejadian tarik ulur saat musyawarah tersebut merupakan cikal bakal terjadinya tradisi Mbed-mbedan tersebut, jika dalam bahasa Indonesia berarti "saling Tarik". Tradisi ini selalu diingat dan dilaksanakan untuk menghormati Rsi Mpu Bantas dalam mengambil suatu keputusan. Tradisi Mbed-mbedan ini pertama kali dilaksanakan sekitaran Çaka 1936 atau tepatnya pada 1474 Masehi yaitu saat dilakukan Pemlaspasan berdirinya Pura kahyangan tiga di Desa Adat Semate, Abianbase, Mengwi, Badung. Selanjutnya, tradisi ini sempat ditiadakan hingga puluhan tahun lamanya, dan kemudian dilaksanakan kembali pada tahun 2011 yang bertepatan dengan sasih kedasa, yaitu sehari setelah Hari Nyepi.

Tradisi ini hampir sama dengan sebuah perlombaan tarik tambang, tetapi yang dipakai tidaklah tali tambang, namun batang pohon yang menjalar, masyarakat Semate menyebutnya dengan bun kalot, tumbuhan itu tumbuh di kuburan desa Semate.

Sebelum melakukan Mbed-mbedan, dimulai dengan melakukan persembahyangan di Pura Puseh/Desa. Warga Desa Adat Semate yang terdiri dari 65 KK itu masing-masing membawa sarana upacara berupa tipat bantal untuk dipersembahkan kepada Ida Betara. Peserta yang ikut serta dalam tradisi ini tak hanya diikuti oleh anak muda, orang tua laki-laki maupun perempuan pun ikut serta dalam melakukan Tradisi Mbed-mbedan ini. Tradisi Mbed-mbedan dilakukan di depan Pura tepatnya di jalan Raya Kapal, pada saat melakukan kegiatan Mbed-mbedan ada beberapa warga yang bertugas menggelitik tubuh peserta. Permainan akan selesai dan kelompok yang berhasil menarik tali yang dipegang lawan dinyatakan menang. Demikianlah Sejarah dari Tradisi Mbed-mbedan, semoga dapat menambah wawasan anda dan berguna untuk kedepannya. Terimakasih telah berkujung, dan mohon maaf bila ada kesalahan, jika ada masukan, saran, atau kritik bisa disampaikan melalui kolom komentar dibawah.

Monday, April 3, 2017

Tradisi unik Perlombaan Kerbau

Hai, apa kabar? semoga dalam keadaan baik, absen dulu, kalian dari daerah mana aja nih? ditempat kalian pasti mempunyai tradisi masing-masing bukan? nah, di daerah mimin nih ada perlombaan kerbau. Kalian pernah menonton perlombaan kerbau tidak? Nah, di Bali ada nih suatu perlombaan dengan menunggangi kerbau, tau kah anda daerah mana yang saya maksud? yuk simak selengkapnya dibawah ini.



Tradisi Makepung telah  dikenal dari dahulu, yaitu pada saat masyarakat melakukan pemindahan hasil panen dari sawah menuju ke rumah. Saat berangkat ke sawah, pedati yang belum berisi muatan hasil panen akan terasa lebih ringan, pedati ini ditarik oleh sepasang kerbau. Pada saat itulah pengendara dari pedati tersebut memacu kerbaunya, lalu setelah saat itulah datang inspirasi untuk mengadakan Tradisi Makepung. Berasal dari namanya yaitu Makepung (mengejar) tradisi ini adalah kegiatan perlombaan yang saling kejar-mengejar dengan menggunakan sepasang kerbau yang ditunggangi oleh satu orang, baik pria maupun wanita. Pada perlombaan ini, tidaklah menggunakan pecut, tetapi memakai tongkat rotan bergerigi terbuat dari paku-paku tajam yang dilekatkan pada tongkat tersebut. Pedati yang digunakan tidaklah seperti yang digunakan pada saat mengangkut hasil panen, tetapi hanyalah pedati kecil yang hanya muat untuk seorang pengendara (joki dari pedati tersebut).

Dalam Tradisi ini terdapat beberapa peraturan, peraturan yang disediakan sangatlah unik, karena pemenang lomba bukanlah ditentukan dari siapa yang mencapai garis finish terlebih dahulu, tetapi ditentukan oleh jarak yang dibuat antar peserta lomba dengan lawannya. Pemenang Makepung ditentukan jika yang berada pada posisi pertama berhasil menjaga jarak lawannya di belakang sejauh 10 meter. Jika peserta dibelakangnya dapat mengecilkan jarak atau kurang dari 10 meter, maka peserta dibelakang yang berhasil mengurangi jarak kurang dari 10 meter tersebutlah yang menjadi pemenangnya. Mengenai arena, Arena Makepung ini berbentuk huruf U yang memiliki panjang mencapai 2 kilometer.
Tradisi Makepung di Bali sering dijadikan agenda dengan skala yang cukup besar dengan melibatkan banyak peserta dan pastinya disertai juga dengan banyak kerbau yang digunakan. Seperti halnya Gubernur Cup peserta yang diikutsertakan dapat mencapai 300-350 pasang kerbau, peserta yang terlibat pun dari banyak kalangan, mulai dari petani, pengusaha, bahkan pejabat negara pun dapat mengikuti tradisi yang unik ini. Selain kejar-kejaran antar kerbau yang ditampilkan, beberapa rombongan musik pun diundang untuk memeriahkan acara, seperti rombongan pemusik gamelan yang khas dari Bali.

Biasanya, untuk perlombaan Makepung tingkat Kabupaten di Jembrana ini dimulai pada bulan Agustus, sedangkan untuk perlombaan Makepung tingkat Provinsi adalah bulan Oktober. Saat ini, Tradisi Makepung di Jembrana sudah sangat terkenal, baik di Bali maupun di luar Bali, maka dari itu kita harus pandai dalam menjaga, dan melestarikannya. Begitupun tradisi di daerah kalian masing-masing, agar dijaga dengan baik agar tidak terlupakan seiring perkembangan jaman. Sekian artikel mengenai TRADISI MAKEPUNG, semoga bermanfaat dan berguna kedepannya. Terimakasih telah berkunjung, mohon maaf bila ada kesalahan, baik disengaja maupun tidak sengaja.



Sunday, April 2, 2017

Tradisi Perang Pandan di Karangasem

Hai, apa kabar? semoga sehat selalu, info dong kalian tinggal di daerah mana aja nih? nah, di setiap daerah kalian pasti punya tradisi masing-masing kan? begitupun di Bali, pastilah mempunyai tradisinya masing-masing, seperti Omed-omedan, Tau kah anda, dari mana awalnya Tradisi Mageret Pandan itu? Nah, yuk simak selengkapnya dibawah ini.

BACA JUGA TRADISI MBED-MBEDAN DI DESA ADAT SEMATE, MENGWI, BADUNG

Desa Tenganan, memiliki luas kurang lebih sekitar 900 hektar, terdapat banyak keunikan yang melekat didalamnya. Salah satunya yaitu Tradisi Mageret Pandan atau Perang Pandan.Mageret Pandan dapat juga disebut dengan istilah Makere-kere, Tradisi Mageret Pandan ini dapat dikelompokkan kedalam tari sakral yang hanya bisa di pentaskan pada waktu yang sudah ditentukan. Mageret Pandan dilakukan sebagai bentuk persembahan khususnya untuk Dewa Indra, karenna upacara ini menganut ajaran Agama Hindu aliran Indra, yaitu dikenal sebagai Dewa Kemakmuran dan Dewa Perang.



Dalam Peperangan ini, alat utama yang digunakan yaitu tameng / perisai, dan daun pandan. Tameng / perisai ini terbuat dari rotan, sedangkan Pandan adalah tumbuhan yang memiliki duri-duri yang sangat tajam pada daunnya. Sebelum melakukan Tradisi Perang Pandan ini, kita haruslah dimulai dengan mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, lalu ritual minum TUAK atau sering disebut dengan LAU. Bambu adalah sebagai tempat yang sering digunakan untuk dijadikan sebagai tempat tuak, lalu dituangkan ke dalam daun pisang yang digunakan sebagai gelasnya. Peserta akan menunangkan tuak tersebut ke daun pisang, secara bergantian sehingga akan terjadi pertukaran tuak antara satu dengan peserta lainnya.

Dalam pakaian, peserta dapat menggunakan kamen, selendang atau saput, udeng, dan bertelanjang dada tanpa menggunakan baju. Masing-masing peserta  kan membawa seikat pandan berduri di tangan kanannya, dan lengkap dengan perisai berupa anyaman yang dibentuk dari rotan ditangan kiri. Perang ini dimulai setelah Pemangku memberikan aba-aba sebagai tanda dimulainya perang tersebut, lalu peserta akan menari-nari dan memukulkan pandan berduri kepada lawannya, lalu kedua belah pihak saling serang menyerang. Mereka akan memukul punggung lawan setelah merangkulnya terlebih dahulu. Kemudian setelah merangkulnya barulah mereka saling pukul memukul punggung lawan menggunakan daun pandan yang penuh dengan duri tajam tersebut.

Setelah Perang tersebut selesai, Luka yang disebabkan oleh pandan tersebut akan diobati oleh obat khusus yang telah disediakan oleh para daha atau pemuda dan pemudi Desa Tenganan, yaitu sebulan sebelum Tradisi Perang Pandan dilakukan. Jika duri pada pandan yang digunakan tersebut tertanam, maka hanya akan diobati dengan cuka, kunyit, dan isen untuk mempercepat pengeringan. Pada saat diobati memanglah perih, tetapi hanya bertahan beberapa menit saja. Demikianlah artikel mengenai Tradisi Mageret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem. Jika kalian ingin melihat Perang tersebut, anda bisa datang dan menyaksikannya langsung di Desa Tenganan, Karangasem. Terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.

Saturday, April 1, 2017

TRADISI NGUREK Di BALI


Hai, apa kabar semeton? semoga sehat selalu, mungkin anda sudah tau di Bali telah memiliki banyak tradisi yang dilakukan, mulai dari yang umum maupun tidak umum sekalipun. Nah, kali ini saya akan membahas TRADISI NGUREK Di BALI, mungkin semeton ada yang tau atau pernah liat? atau bahkan mungkin ada yang pernah melakukannya? pengen tau kejelasannya? yuk disimak selengkapnya di bawah ini.

Berasal dari kata "UREK" yang berarti tusuk, lalu mendapat imbuhan di awalan menjadi "NGUREK" yang dapat diartikan sebagai Menusuk tubuh diri sendiri dengan keris, atau tombak dalam kondisi kerasukan (kerauhan). Melakukan Ngurek ini, tidak sedikit pun dapat melukai tubuh, karena Ngurek dilakukan pada saat kondisi kerasukan dan diluar kesadaran.



Pada saat kerasukan, roh lain lah yang masuk ke tubuh dan akan memberi kekuatan, sehingga menjadi kebal. Inilah keunikan dari Ngurek tersebut, dan sekaligus menjadi misteri yang sampe sekarang belum bisa dijelaskan. Untuk mencapai klimaks pada saat kerasukan, haruslah melakukan beberapa tahap prosesi ritual. Secara umum, ritual tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu;

1. Nusdus : yaitu merangsang para pelaku Ngurek dengan menggunakan asap yang memiliki aroma wangi dan menyengat agar cepat dirasuki.

2. Masolah adalah tahap menari dengan diiringi lagu-lagu dan suara kecak atau dapat juga diiringi dengan suara gamelan.

3. Ngaluwur : memili arti mengembalikan pelaku Ngurek ke sedia kala dengan cara menyirami butir-butir tirta ke kepala pelaku Ngurek tersebut.


Seperti yang dilakukan didalam pementasan Calonarang, yaitu Ngurek biasanya dilakukan diluar panggung atau diluar Pura utama.Sebelum kegiatan Ngurek ini dilakukan, biasanya Rangda dan Barong serta para Patih yang terdapat dalam pementasan Calonarang itu kerasukan dan keluar dari panggung atau keluar pada Pura utama lalu mengelilingi areal Pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal tersebutlah para pelaku Ngurek mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.

Dalam keyakinan masyarakat Hindu di Bali disebutkan bahwa: "Apapun yang dilakukan dengan pasrah, berserah diri, dan ikhlas kepada Sang Pencipta yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka akan mendapat anugerah dan Karunia yang tak terbatas." Sekian artikel mengenai TRADISI NGUREK di BALI, semoga dapat menambah wawasan anda dan sekaligus berguna untuk kedepannya. Terimakasih atas kunjungan anda.

Thursday, March 30, 2017

Asal Muasal Nama Pulau "BALI"

Om Swastyastu, apa kabar semeton Bali sekalian? semoga sehat selalu. Pernahkah kalian berpikiran dari manakah asal nama BALI itu digunakan? nah, jika kalian ingin tahu asal usulnya simak nih selengkapnya dibawah ini.

Tahukah kalian nama tokoh terkenal yang merupakan pertapa sakti di Gunung Raung? Semenjak kedatangannya ke Bali yaitu pada abad ke- 7, yaitu Rsi Markandeya. Beliau datang ke Bali pada abad ke- 7 untuk menyebarkan Agama Hindu ke seluruh Dunia. Pada mulanya, Rsi Markandeya bertapa di sebuah gunung yang bernama Gunung Demulung, dan berpindah ke Gunung Hyang. Seletah beberapa lama beliau melakukan pertapaan di Gunung tersebut, lalu Beliau mendapat titah dari Sang Hyang Widhi Wasa agar datang dan membersihkan hutan di Pulau Dawa (Panjang), disebut Pulau Dawa karena memang dulunya pulau tersebut panjang dan lebar sebelum pisahnya Pulau Jawa dan Bali.

Setelah menentukan hari baik, Beliau pun pergi ke hutan belantara tersebut lengkap dengan 800 pengikutnya yang membawa alat-alat yang lengkap. karena banyak pengikutnya yang tewas akibat sakit, dimakan binatang buas, dan lainnya, Beliau pun akhirnya kembali ke pertapaannya dan mencari jalan keluar.

Setelah melakukan semedi dan menentukan hari baik, beliau pun kembali ke hutan tersebut. Sesampainya ditempat itu, beliau lantas melakukan yadnya dengan mempersembahkan sesajen, dan dengan semangat dan tekad yang kuat beliau pun akhirnya berhasil merambas seluruh hutan tersebut. Lalu, hutan yang telah dirambas itupun dibagi kepada pengikutnya untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, dan rumah. Dan ditempat pertama beliau melakukan perambasan itu melakukan ritual dengan menanam Kendi yang berisi air dan 5 jenis logam (Panca Datu), ditempat ini pula dibangun pelinggih, seiring berjalannya waktu, pelinggih tersebut pun ditambah jumlahnya dan dibangun menjadi Pura yang disebut dengan PURA BASUKIAN. Pura Basukian lalu berubah Nama menjadi Pura Besakih, yaitu merupakan Pura terbesar di Bali yang berlokasi tepat di kaki Gunung Agung.

Dari sanalah Rsi Markandeya mengajarkan Agama kepada pengikutnya lalu menyebut Tuhan dengan Nama Sang Hyang Widhi melalui penyembahan yang dilakukan tiga hari dalam sekali, dengan menggunakan alat perlengkapan berupa bebali yaitu sesajen yang terdiri dari tiga unsur, diantaranya; air, api, dan bunga harum.
Ajaran agama ini disebut dengan Agama Bali, lalu lambat laun perkembangan pengikutnya pun mulai terlihat, dengan bertambahnya penduduk & pengikut, melalui peenyebaran ke daerah sekitar, sehingga daerah tersebut disebut dengan daerah Bali, yaitu daerah yang segala sesuatunya menggunakan bebali atau sering disebut dengan sesajen.

Dapat disimpulkan bahwa nama "BALI" berasal dari kata "BEBALI" yang berarti "SESAJEN". Dipergunakannya nama BALI ini juga ditegaskan kembali dalam kitab RAMAYANA yang disusun pada tahun 1200 SM, yang berbunyi "Ada sebuah tempat di timur Pulau Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, disana, Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya dengan mempersembahkan bebali atau sesajen. Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali, lalu kemudian berubah menjadi Pulau Bali atau Pulau Sesajen. Mungkin karena nama itulah yang menjadikan Pulau Bali tidak lepas dari yang namanya SESAJEN. Sekian artikel mengenai ASAL USUL NAMA BALI, semoga dapat menambah wawasan anda, dan mohon maaf bila ada kesalahan. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan atau ditambahkan silahkan tuliskan di komentar atau menghubungi akun sosial media saya. Terimakasih atas kunjungan anda.

Sunday, March 26, 2017

PERANG PUPUTAN BADUNG

Hei, apa kabar? semoga sehat selalu. Pernahkah anda mendengar atau mengunjungi PUPUTAN BADUNG? nah, tempat itu merupakan tempat berjuangnya rakyat BALI sampai titik darah penghabisan.

Pada tanggal 27 Mei tahun 190, sebuah perahu dagang terdampar di pantai timur Kerajaan Badung. Perahu tersebut bernama "Sri Komala", didapati, perahu tersebut berbendera Belanda yang berlayar dari Banjarmasih dengan muatan barang dagang milik pedagang Cina yang bernama "Kwee Tek Tjiang". Karena kandas dan perahu pecah, barang yang terdapat di dalam perahu tersebut pun diturunkan oleh para penumpang Sri Komala. Barang yang terdapat didalamnya antara lain peti seng, peti kayu, dan koper kulit, setelah diturunkannya muatan yang dibawa, lalu nahkoda meminta bantuan kepada syahbandar di Sanur untuk menjaga barang-barang yang telah diturunkan tersebut. Seorang warga Cina di Sanur yang bernama "Sik Bo" memberi saran untuk melaporkan peristiwa kandasnya perahu Belanda kepada "Ida Bagus Ngurah" yang merupakan penguasa daerah Sanur dengan tujuan untuk ikut mengamankan barang-barang yang diturunkan tersebut.
Untuk memeriksa kebenaran laporan itu, Ida Bagus Ngurah yang selaku penguasa Sanur berangkat ke tepo pantai untuk memeriksa. Ternyata, sesuai dengan laporan yang ada, serta tambahan barang berupa roti kering dan beberapa uang kepeng.

Dua hari setelah perahu itu terdampar, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1904, Raja Badung mengutus beberapa pasukan untuk mengadakan pemeriksaan ke pantai. Setelah itulah Kwee Tek Tjiang membuat laporan palsu kepada utusan raja, dengan menyatakan bahwa rakyat telah mencuri uang perak sebesar 3700 ringgit, dan 2300 uang kepeng. Karena tidak disertai bukti nyata yang menjelaskan kebenaran dari tuduhan tersebut, utusan raja pun tidak dapat menerima pernyataan tersebut.

Kwee Tek Tjiang datang lalu menghadap langsung dengan Raja Badung yang menolak pengaduan itu. salian dipandang tidak sesuai, Kwee Tek Tjiang juga menuduh rakyat Badung juga merampas perahu itu. Dengan keyakinan yang sangat kuat dari Raja dan Rakyat Badung,  sehingga dipandang membahayakan kedudukan Pemerintah Kolonial di Bali.

Penolakan yang tegas dari Raja Badung mengakibatkan pemerintah kolonial mengirim angkatan laut untuk memblokade ekonomi perairan laut Badung. Seiring berjalannya waktu, blokade itu terus dilakukan dan mengakibatkan Kerajaan Badung mengalami kerugian setiap hari sebesar 1500 ringgit. Selain blokade ekonomi di laut, blokade ekonomi di darat pun juga dilakukan dengan cara yaitu bekerja sama dengan beberapa raja-raja tetangga seperti; Tabanan, Bangli, Gianyar, dan Karangasem. Tetapi, hal tersebut sulit dilakukan karena hubungan yang sudah erat dengan Kerajaan Badung. Blokade yang dilakukan di darat maupun di laut ternyata tidak mempan karena Raja Badung tidak menyerah.

Karena keputusan dari Raja Badung yang tetap, lalu Gubernur Jenderal Van Hentzs mengirim surat kepada Raja Badung pada 17 Juli 1906. Surat tidak hanya dikirim kepada I Gusti Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah Made Agung, Jenderal Van Hentzs juga mengirim kepada I Gusti Ngurah Agung yang selaku Raja di Tabanan, beliau tegas memihak kepada Raja Badung.

Utusan Ekspedisi militer V sampai di Selat Badung pada tanggal 12 September 1906. Dengan kekuatan armada berjumlah 16 buah kapal, diantaranya; 7 buah kapal pengangkut dan 9 buah kapal perang, yang dilengkapi dengan meriam berbagai kaliber, serta Personil yang diikutsertakan dalam ekspedisi itu berjumlah 3053 orang, terdiri dari 2312 personil militer serta 741 orang sipil termasuk wartawan itu pun akhirnya di kirim pada sore hari untuk menyampaikan ultimatum kepada Raja Tabanan dan Raja Badung agar menyerah dalam waktu dua hari kedepan. Ultimatum tersebut ditolak dengan tegas, sehingga pasukan yang di bawa oleh Belanda mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 14 September 1906. Pabean Sanur ditempati oleh pasukan Belanda untuk dijadikan sebagai benteng pertahanan mereka untuk menyerang ke Kesiman, Laskar Badung pun sudah siap perang degan memperkuat benteng pertahanannya di depan Puri Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan.

Keesokan harinya Laskar Badung kembali menduduki beberapa Desa, diantaranya; Taman Intaran, Sindu, dan Buruan. Sempat terjadi kontak senjata antara Laskar Badung dan Batalyon 11 Pasukan Belanda di Sindu. Namun Laskar Badung yang datang dari Bengkel dan Kelandis bergerak menuju Kepisah dan sampai di Tanjung Bungkak, lalu disusul 500 Laskar dari Kesiman yang dipimpin oleh I Gusti Gede Ngurah Kesiman yang bergerak ke selatan. Berbagai macam senjata digunakan oleh pasukan tersebut, diantaranya; Tombak, Keris, Senapan, dan juga Pedang. Kehadiran Laskar Badung mengakibatkan pasukan Belanda menembakkan salvo dari benteng pertahanan Belanda yang berjarak 100 meter, lalu terjadilah pertempuran yang hebat satu melawan satu yang memenuhi seluruh Desa Sanur. Banyak korban yang berjatuhan, mulai dari pasukan Belanda yang mengalami luka-luka, dan pasukan Laskar Badung yang tercatat 33 korban tewas dan 12 orang luka-luka akibat tembakan meriam dari pasukan Belanda.

Lalu berpindah ke Renon, Laskar Badung memasang ranjau dari bambu guna untuk menghambat serangan dari Pasukan Kavaleri Belanda yang menunggangi kuda. Pertahanan juga dilakukan di desa-desa dengan mengelilingi 3 Puri, yaitu; Puri Kesiman, Puri Agung Denpasar, serta Puri Agung Pemecutan, beberapa daerah juga diperkuat, mulai dari Renon, Panjer, Sesetan, Kelandis, dan Tanjung Bungkak.

Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Rost Van Toningen meninggalkan benteng di Pabean Sanur, lalu bergerak mengikuti jalan besar ke sebelah barat menuju ke Tanjung Bungkak, dan bergerak sebelah kiri, kedatangan pasukan Belanda di Panjer langsung disambut dengan serangan yang gencar dari sekitar 2000 pasukan Laskar Badung. Karena waktu sudah hampir gelap, Belanda pun akhirnya mundur dan kembali ke bentengnya di Sanur. Pada saat mereka tiba di Pabean Sanur, pasukan Laskar Badung yang berjumlah sekitar 30 orang dari Kesiman datang untuk menyerang, tetapi, tembakan yang dilepaskan oleh angkatan laut Belanda berhasil memukul mundur Laskar Badung.

Pada tanggal 18 Septembar 1906, meriam penembak yang terletak di sebelah kanan benteng ditembak kearah Kota. Tembakan tersebut menuju ke arah Puri Kesiman, dan beberapa tembakan tersebut berhasil mengenai Puri dan sisanya mendarat di luarnya. Sebanyak 1500 pasukan Laskar ikut memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman yang dekar dengan kebun kelapa.

Pasukan Belanda lalu bergerak menuju arah utara, sementara itu pasukan Laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu lalu menyerang Rost Van Toningen, sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan Laskar Badung lalu dapat dihentikan oleh 2 peleton yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman. Lalu, kedudukan Laskar Kerajaan Badung sudah mendekati jaeak 350 meter dari pasukan Belanda. Lalu pasukan Belanda menembak, dan pasukan Laskar Badung maju dengan tujuan untuk melawan, teptapi tembakan dari Belanda mengenai mereka dan akhirnya roboh begitu saja. Laskar Kerajaan Badung memiliki kekurangan, yaitu pada kelengkapan persenjataan. Tetapi, meskipun hanya menggunakan meriam kecil dengan tembakannya yang lambat, namun ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang dan rela berkorban sampai titik darah penghabisan.

Puri Kesiman lalu dapat diduduki oleh pasukan Belanda. Karena jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman, pasukan Belanda akhirnya berpindah meninggalkan Puri Kesiman, lalu menuju Desa Sumerta pada tanggal 20 September 1906 yang bersamaan dengan gerakan pasukan, dan tembakan meriam dari benteng Belanda di Sanur yang diarahkan menuju Puri Agung Denpasar dan Puri Pemecutan. Peluru yang ditembakkan berhasil mengenai Puri dan mengakibatkan kerusakan. Laskar Badung dari tepi barat Desa Sumerta melakukan perlawanan untuk mempertahankan tepi timur Denpasar.

Lalu, Pasukan Belanda dibagi, beberapa berbaris ke sebelah kiri menuju ke Desa Kayumas, sementara yang lainnya menuju ke batas timur Denpasar. Di Puri Denpasar telah berkumpul rombongan keluarga dan pengikut setia Raja, yang berjumlah sekitar 250 orang, lalu Raja memerintahkan pasukan untuk membakar Puri Agung Denpasar.

Pasukan Belanda lainnya telah menduduki perempatan dalan Denpasar menuju Tangguntiti. Lalu, Raja dan pengikutnya keluar dari Puri dan semua membawa senjata baik laki-laki maupun perempuan mulai dari keris, atau pun tombak. Rombongan ini bergerak ke utara melalui pintu gerbang Puri dan keluar ke jalan besar, hingga tiba di persimpangan jalan Jero Belaluan.

Beberapa kali rombongan itu diperintahkan untuk berhenti, tetapi rombongan tersebut tetap bergerak sehingga semakin dekat dengan Pasukan Belanda. Lalu Raja dan Rakyat Badung berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang musuh, dan saat itu pula tembakan salvo mulai dilepaskan sehingga mengakibatkan Rakyat Badung tersungkur termasuk Raja I Gusti Ngurah Made Agung. Setelah Raja Denpasar Gugur, Rakyat yang bersama dengan rombongan Raja tersebut pun melanjutkan penyerbuannya dan tak kalah pula pasukan Belanda yang terus menyerang. Dengan cara melawan pantang menyerah, dan berperang sampai titik darah penghabisan, Raja dan Rakyat Badung rela dan ikhlas mengorbankan dirinya demi membela keberanan yang luhur. Tewas berjuang dan membela kebenaran adalah sorga bagi pasukan, yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu.

Rombongan lainnya kemudian muncul di jalan besar yang dipimpin oleh saudara tiri Raja yang masih berumur 12 tahun dengan tombak yang sangat panjang ditangannya, pasukan Belanda pun dikepung. Pada saat itu, komandan  pasukan pun memperingati untuk mundur, tetapi rombongan tersebut tidak menghiraukan dan langsung menyerang dengan buasnya. Satu persatu dari mereka pun akhirnya gugur, dan tumpukan mayat semakin bertambah.

Dengan itu, didekat perempatan jalan dari Denpasar menuju ke Tangguntiti dan Kesiman masih terjadi serangan Kerajaan Badung. Laskar Badung yang masih menduduki Jero di Tainsiat melakukan serangan terhadap pasukan Belanda. Karena peperangan yang tidak seimbangnya alat persenjataan yang digunakan, karena Belanda menggunakan persenjataan modern dan lengkap dengan pasukan militer yang profesional, sedangkan Laskar Badung hanya menggunakan jiwa dan semangat pantang menyerahnya pun dapat dijinakkan.

Lalu, Pasukan Belanda bergerak ke selatan menuju ke arah Puri Agung Denpasar dan kembali melanjutkan penyerangannya ke Puri Agung Pemecutan. Sementara di Puri Agung Pemecutan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan memerintahkan untuk membakar Puri sebelum melakukan perlawanan terhadap Belanda. Belanda lalu meninggalkan halaman Puri Agung Denpasar dan sampai di Perempatan Suci. Tembakan pun dilepaskan oleh Belanda bertujuan agar mendapat jalan didepannya, Laskar Kerajaan Badung yang bertahan diseberang sungai Badung lalu melepaskan tembakan ke arah Pasukan Belanda dengan jarak tembak 700 meter, dan berhasil mengenai sasaran, 2 orang dari pasukan Belanda menjadi korban. Pasukan Belanda lalu membalas tembakan tersebut dengan artileri meriam kaliber 3,7 yang mengakibatkan Pasukan Laskar Kerajaan Badung berguguran. Pasukan Belanda lalu bergerak maju mendekati Puri Agung Pemecutan, dan pada waktu itulah Pasukan Laskar Kerajaan Badung melakukan serangan.

I Gusti Ngurah Pemecutan yang diusung dengan tandu berkumpul dengan para punggawa, istri dan keluarganya di Puri Pemecutan. Pasukan Laskar Kerajaan Badung bermunculan disana-sini dengan menyerang menggunakan tombak dan senapan yang berjarak agak jauh dari Pasukan Belanda. Rombongan Raja bergerak secara perlahan mendekati pasukan Belanda. Setelah posisi mereka sangat dekat dengan Pasukan Belanda, Raja beserta pengikutnya bergerak semakin cepat dan menerjang Pasukan Belanda. Pada Pertarungan yang sengit itulah Raja dan pengikutnya gugur satu demi satu. Akhirnya, pada pukul 18.00, perlawanan dari Laskar Kerajaan Badung di Pemecutan yang merupakan benteng terakhir berhenti, Pasukan Laskar Kerajaan Badung akhirnya menduduki Puri Agung Pemecutan.

Sekianlah cerita singkat dari PERANG PUPUTAN BADUNG, mohon maaf bila ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Termikasih telah berkunjung.

Thursday, March 23, 2017

Keindahan Pura Lempuyang Luhur



Kalian sudah tau bukan, Bali memang sering dijuluki sebagai Pura seribu Pura. Berbagai macam Pura dengan desain yang berbeda dan berbagai Pura untuk memuja segala manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah disediakan disana, salah satunya adalah Pura Lempuyang.

Pura Lempuyang terletak di bagian timur Pulau Bali, tepatnya di Puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura Lempuyang adalah Stana dari Hyang Gni Jaya atau sering disebut dengan Dewa Iswara.



Pura Lempuyang berasal dari kata "Lampu" yang berarti Sinar dan "Hyang" sebagai sebutan Tuhan. Dari Lempuyang dapat diartikan sebagai Sinar suci Tuhan yang terang benderang. Pura Lempuyang memiliki status yang penting, sama seperti Pura Besakih, baik dalam konsep Dewata Nawa Sanga, maupun yang lainnya. Berbagai sumber lontar dan prasasti kuno menyatakan, ada tiga Pura besar di Bali yakni Pura Besakih, Pura Ulun Danu Batur serta Pura Lempuyang.

Pada tahun 1950an, ditempat yang didirikan Pura Lempuyang sekarang ini, barulah ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat menggunakan pohon yang masih hidup. Setelah pohon besar yang berada dibagian timur Pura tumbang, barulah dibangun dua Padmasana kembar dan sebuah Padmasana tunggal bale priasan.


Menurut beberapa narasumber, Pura Lempuyang dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan sekitaran abad ke 11 Masehi, yaitu pada saat Empu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah di Pulau Bali. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul menyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali sekarang yaitu dari India, yaitu Gunung Mahameru. Beberapa bagian potongan dari Gunung Mahameru dibawa dan dipecah menjadi tiga bagian. Gunung yang dimaksud adalah Gunung Batur, dan Gunung Rinjani, dan sedangkan puncak dari potongan gunung tersebut menjadi Gunung Agung di Bali serta potongan-potongan kecil dari gunung tersebut menjadi beberapa gunung di Bali seperti; Gunung Batukaru, Nagaloka, Siladnaya, Andhakasa, dan lain-lain. Gunung Lempuyang dijaga oleh Sang Hyang Agni Jayasakti yaitu putra dari Sang Parameswara, serta didampingi oleh dewa-dewa lainnya.

Gunung Lempuyang juga dapat disebut sebagai Gunung Adri Karang, Di gunung Adri Karang inilah Raja Jayasakti bersemedi, dan karena itu pula Gunung ini juga bernama Gunung Karang Semadi. Sang Hyang Guru memerintahkan Raja Jayasakti turun ke Bali untuk membangun Pura agar menjadi lebih aman dan sejahtera. Perintah Sang Hyang Guru pun dijalankan dan Raja Jayasakti membawa para Pandita dan pengikutnya untuk melaksanakan mewujudkan tugas yang diberikan tersebut. Sebelum Pertama kali dibangun Pura di Gunung Lempuyang yang digunakan sebagai stana Dewa Iswara, Raja Jayasakti melakukan semedi terlebih dahulu untuk memulai membangun kehidupan yang aman dan sejahtera di Bali. Pada saat ini, Pura Lempuyang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu utama, Madya, serta nista mandala.

Sebelum memasuki Pura Lempuyang, anda harus mengetahui pantangan dalam memasuki Pura tersbut yaitu tidak boleh berkata kasar. Selain melakukan tempat untuk beryadnya, Pura Lempuyang Luhur juga merupakan tempat wisata di Bali, Dengan latar belakang panorama Gunung Agung yang sangat indah, serta panorama hutan yang menakjubkan. Sangat cocok untuk dikunjungi guys, karena selain beryadnya kita juga sekaligus dapat berwisata ditempat ini. Sekian artikel mengenai PURA LEMPUYANG LUHUR, semoga bermanfaat ya. terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja karena kita adalah makhluk yang sama yaitu manusia. jangan lupa share ya, jika ada pertanyaan bisa disertakan dikolom komentar atau menambahkan kontak saya di media sosial kalian. Matur Suksma.

Tuesday, March 21, 2017

Pura Unik yang Dipenuhi dengan Kelelawar


Hai, apa kabar ? semoga sehat selalu, anda suka berkunjung ke Bali ? coba deh kunjungi Pura Goa Lawah, mau tau selengkapnya ? yuk simak dibawah ini.


Pura Goa Lawah berlokasi di Kabupaten Klungkung. Goa Lawah sering dikunjungi sebagai salah satu objek wisata yang ada di Bali, diantara Pura lainnya di Bali, Pura Goa Lawah tentu mempunyai chiri khas yang unik dan berbeda dari Pura lainnya. Karena, pada areal Pura terdapat sebuah goa yang dihuni oleh ribuan ekor kelelawar, menurut legenda, Goa tersebut tembus sampai ke Goa Raja yang berada di kawasan Pura Besakih.

Pura di Bali memiliki beberapa kelompok, salah satunya adalah Pura Kahyangan Jagat yang menjadi penyongsong seluruh umat Hindu di Bali, contohnya Pura Goa Lawah. Pura ini dikenal sebagai Pura Sad Kahyangan Jagat yang terletak di arah tenggara, Pura ini dipercaya sebagai Stana dari Dewa Maheswara dan Sang Hyang Basukih. Masyarakat Hindu biasanya melakukan Ajar-ajar (Kegiatan yang dilakukan setelah melakukan Upacara Agung), Pura ini merupakan simbol filosofi unsur Segara atau laut dan gunung atau simbol Lingga dan Yoni yang tidak bisa dipisahkan.


Dengan Ciri-ciri yang khas yaitu dihuni oleh ribuan kelelawar, kebisingan suara kelelawar pun setiap hari terdengar tiada henti, sejumlah pelinggih juga terdapat dimulut Goa sebagai tempat persembahyangan untuk umat Hindu, di Pura ini juga terdapat Meru yang berdiri menjulang tinggi. Biasanya, odalan di Pura Goa Lawah dilakukan setiap 6 bulan sekali tepatnya 210 hari sekali pada kalender Hindu, bertepatan dengan Anggara Kasih atau Anggara Kliwon Medangsia, dan nyejer selama 3 hari.

Pura Goa Lawah merupakan sebuah Pura peninggalan nenek moyang yang sudah mengalami pemugaran, sehingga bangunan di sekelilingnya pun terlihat kokoh, dan indah. Jika dihubungkan dengan sejarah dari Pura Sad Kahyangan di Bali, Pura tersebut dibangun atas kemampuan dari Mpu Kuturan. Beliau merupakan seorang Pandita yang memiliki peranan penting dalam menyatukan sekte-sekte di Bali dan mengenalkan konsep Tri Murti dan Kahyangan Tiga. Empu Kuturan berasal dari Pualau Jawa.

Karena usaha dari Empu Kuturan, masyarakat hindu di Bali menjadi paham akan konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga, dan Desa Pakraman. Sehingga masyarakat Hindu di Bali juga dapat memahami tentang tata cara pemujaan yang harus dilakukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Empu Kuturan juga tercatat sebagai orang yang merancang bangunan pelinggih seperti meru serta gedong-gedong yang memiliki desain ukiran Bali.



Sejarah Pura Goa Lawah berkaitan dengan perjalanan Danghyang Nirartha, beliau adalah seorang Brahmana suci dari Jawa dan datang ke Bali dalam mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran Agama Hindu, beliau datang ke Bali pada saat pemerintahan keemasan dari kejaraan Waturenggong di Gelgel. Dan pada saat perjalanan beliau dari Gelgel menuju Kusamba, perjalanannya terhenti di Pura Goa Lawah ini. Pada saat beliau berada di Goa Lawah, pemandangan laut yang menawan serta gunung yang indah pun menyambut kehadiranNya. Lalu masuk ke tengah Goa dan menyaksikan ribuan kelelawar, dan bunga serta dedaunan yang jatuh dan berserakan seolah menyambut kedatangan seorang Pandita Suci dari perjalanannya dalam menyebarkan ajaran Hindu. Di tempat ini, beliau membangun sebuah Padmasana sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


Diyakini juga bahwa Pura Goa Lawah memiliki hubungan yang erat dengan Pura Besakih. Dari Goa yang terdapat di Pura Goa Lawah merupakan tempat keluarnya Ida Bhatara Hyang Basukih yang datang dari Gunung Agung melalui Goa Raja di Besakih, diyakini juga Goa yang terdapat di Goa Raja dengan Goa yang terdapat di Goa Lawah adalah tembus karena asap pada saat letusan Gunung Agung meletus juga keluar dari mulut Goa di Goa Lawah.


Demikianlah sedikit cerita sejarah dari Pura Goa Lawah di desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ini, semoga bermanfaat dan terimakasih atas kunjungan anda. Jangan lupa bagikan dan komentar yaa.

Monday, March 20, 2017

Uluwatu Temple




Hai, apa kabar ? semoga sehat selalu, kalian suka travel atau trip? dan khususnya umat Hindu mungkin ada yang ingin berlibur sekaligus bertirta yatra? nah, ini nih tempat yang bagus dan indah, kalian tau enggak dimana ? yuk simak selengkapnya di bawah ini.

Mendengar kata pura, kalian pasti teringat akan Pulau Bali, nah selain bersembahyang untuk memuja Tuhan, disini anda juga dapat menikmati keindahan pantai dari atas tebing, tepatnya di Pura Uluwatu. Kalian pernah ke Pura ini enggak? pemandangannya sangat bagus lo, Pura nya juga sangat indah. Pura Uluwatu berdiri kokoh di atas batu karang yang menjorok ke tengah laut dengan ketinggian mencapai 97 meter, dengan pemandangan pantainya dari atas inilah yang membuat Pura ini terlihat sangat indah. Tidak hanya pemandangan dari atas, pemandangan di bawahnya pun tidak kalah menarik, banyak peselancar yang memainkan papan selancarnya disana.



Pura Uluwatu ini terletak di ujung barat daya Pulau Bali, Pura ini dipercaya oleh umat Hindu sebagai penyangga dari 9 arah mata angin. Mulanya, Pura ini digunakan sebagai tempat untuk memuja seorang pendeta suci dari abad ke 11 yang bernama Empu Kuturan, yang menurunkan ajaran Desa Adat dengan semua peraturannya. Selain itu, Pura ini juga digunakan untuk memuja pendeta suci lainnya yaitu Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada tahun 1550 lalu mengakhiri perjalanannya dengan ngeluhur di tempat ini yaitu di Bali, dengan itulah asal nama Pura Luhur Uluwatu digunakan.


Di Pura uluwatu terdapat sebuah bak air yang selalu berisi air walaupun pada saat musim kering. Hal ini dianggap sebagai suatu keajaiban dari Pura Uluwatu. Karena Pura Luhur Uluwatu berada di wilayah perbukitan batu karang yang selalu mengandalkan air hujan, maka keajaiban bak yang selalu terdapat air itu dikeramatkan. Biasanya, air di bak tersebut digunakan untuk Air Tirta yang suci. Selain bak yang selalu berisi air tadi, di Pura Uluwatu juga terdapat Candi, bernama Candi Kurung, dibuat pada abad ke 11 masehi jika dihubungkan dengan Candi Kurung Bersayap yang terdapat di Pura Sakenan. Candi Kurung Padu Raksa dibuar pada zaman Dang Hyang Dwijendra pada abad ke XVI. Tempat ini juga terdapati Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Pura Uluwatu memiliki hari raya besar yang jatuh pada Hari Kliwon, pada wuku Medangsia. Pertama kalinya pada Anggara kliwon, wuku medangsia, Dang Hyang Dwijendra diberi wahyu dari Tuhan pada hari tersebut pula beliau harus pergi ke surga. Sebelum itu, beliau meminta agar Ki Pasek yang merupakan seorang nelayan untuk menyampaikan bahwa Dang Hyang Dwijendra menyimpan sebuah Pustaka di Pura Luhur Uluwatu. Lalu Ki Pasek Nambangan pun akhirnya pergi, sementara Dang Hyang Dwijendra melakukan tapa yoga semadhi, beliau pun moksa, dan Ki Pasek Nambangan hanya melihat sebuah cahaya ke angkasa.

Cerita sejarah Pura Luhur Uluwatu ini pun kemudian berkembang menjadi kepercayaan penduduk setempat dan agama Hindu sampai sekarang. Karena Pura Uluwatu merupakan Pura yang sangat penting dalam kehidupan beragama bagi masyarakat Hindu di Indonesia. Sekian artikel mengenai Pura Uluwatu, terimakasih telah berkunjung. Serta mohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja ataupun tidak.



Sunday, March 19, 2017

Tanah Lot



Pernahkah kalian berkunjung ke Tanah Lot? Tempat ini adalah tempat persembahyangan untuk agama Hindu yang berada di tengah laut. Tanah Lot berlokasi di Beraban, kediri, Kabupaten Tabanan, tempat ini merupakan bagian dari Pura Dang Kahyangan.

Sejarah Pura Tanah Lot, dikisahkan Bhagawan Dang Hyang Nirartha melakukan misi penyebaran Agama Hindu dari Jawa ke Bali. Pada saat itu, Raja Dalem Waturenggong ada penguasa pulau Bali. Karena penyambutan kedatangan Dang Hyang Nirartha dilakukan dengan baik, beliau pun berhasil menyebarkan agama Hindu sampai ke pelosok-pelosok desa yang ada di Bali.

selanjutnya, Dang Hyang Nirartha melihat sinar suci dari arah laut Bali, lalu beliau mencari sumber sinar tersebut dan sampailah beliau di sebuah pantai di sebuah desa yang bernama desa Beraban Tabanan. Pada saat tersebut, desa itu dipimpin oleh bendesa Beraban Sakti yang sangat menentang ajaran dari Dang Hyang Nirartha dalam melakukan penyebaran agama Hindu. Lalu, Dang Hyang Nirartha melakukan meditasi, tepatnya di atas batu karang yang memiliki bentuk menyerupai burung beo. Dengan banyak cara Bendesa Beraban ingin mengusir Dang Hyang Nirartha dari tempat meditasinya itu.

Dengan kekuatannya, Dang Hyang Nirartha memindahkan baru karang yang dijadikannya sebagai tempat meditasi ke tengah pantai. Batu karang itu diberi nama Tanah Lot yang memiliki arti batu karang yang berada di tengah laut. Semenjak Bendesa Beraban Sakti melihat hal tersebut, ia mengakui kesaktian yang dimiliki oleh Dang Hyang Nirartha, dan ia pun menjadi pengikut dari Dang Hyang Nirartha untuk memeluk agama Hindu serta penduduk lainnya.
Selanjutnya, Dang Hyang Nirartha meninggalkan Tanah Lot. Tetapi, sebelum meninggalkan tempat itu, beliau sempat memberi keris sakti yang dapat menyembuhkan penyakit yang menyerang tanaman. Keris tersebut lalu disimpan di Puri Kediri serta dibuatkan upacara keagamaan di Pura Tanah Lot setiap 6 bulan sekali, karena rutin melakukan upacara ini, kehidupan penduduk di daerah Tanah Lot pun menjadi meningkat tajam dengan hasil panen pertanian yang melimpah dan mereka pun hidup dengan saling menghormati.

Pura Tanah Lot sampai sekarang sering terganggu oleh abrasi, dan pengikisan akibat ombak serta angin. Karena kejadian tersebut, pemerintah di Bali pun melakukan pemasangan tetrapod sebagai pemecah gelombang dan memperkuat tebing di sekitaran pura berupa karang buatan. Pada tahun 1987 dilakukan pemasangan pemecah gelombang (tetrapod) seberat 2 ton yang diletakkan didepan Pura Tanah Lot. Namun, peletakan tetrapod mengganggu keindahan dan keasrian alam sekitarnya lalu diadakan studi kelayakan yang melibatkan tokoh agama serta masyarakat daerah setempat. Perlindungan Pura mulai dilakukan sekitar bulan juni 2000 dan selesai pada bulan februari 2003 melalui dana bantuan pinjaman Japan Bank Internasional Cooperation (JBIC) sebesar 95 miliar rupiah. Keseluruhan pekerjaan yang meliputi bangunan wantilan, candi, area parkir, paebatan, seta penataan jalan dan taman.

Inginkah anda berkunjung ke Tanah Lot? anda bisa melihat lokasi dan mencari tempat tersebut dengan melihat Petunjuk arah menuju Pura Tanah Lot. Sekian dulu artikel mengenai Pura Tanah Lot, tunggu postingan berikutnya lagi ya mengenai Bali. terimakasih telah berkunjung dan mohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja maupun tidak.

Friday, March 17, 2017

BERDIRINYA PURA BESAKIH





Pura Besakih merupakan Pura terbesar yang berada di wilayah Bali, tepatnya di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Dahulu, tempat yang digunakan sebelum dibangunnya Pura Besakih hanya terdapat banyak kayu di sebuah hutan belantara. Dan sebelum adanya Selat Bali, Pulau Bali dan Pulau Jawa dulu masih menjadi satu, pulau ini bernama Pulau Dawa (panjang). Di sebuah tempat di Jawa Timur tepatnya di Gunung Rawang, ada seorang pertapa yang bernama Rsi Markandeya, beliau sering dijuluki sebagai Bhatara Giri Rawang karena ketinggian ilmu bhatin, kesucian rohani, serta kecakapan dann kebijaksanaan yang dimili oleh-Nya.

Pada mulanya, Rsi Markandeya bertapa di sebuah gunung yang bernama Gunung Demulung, lalu pindah ke Gunung Hyang. Sekian lama beliau melakukan pertapaan disana, lalu Rsi Markandeya pun mendapat titah dari Sang Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya membersihkan hutan di Pulau Dawa hingga bersih, lalu tanah tersebut dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.

Kemudian beliau berangkat ke tanah Bali dengan pengikutnya yang berjumlah 800 orang lengkap dengan perlengkapan serta peralatan yang diperlukan. Sesampainya di tempat tujuan, beliau memerintahkan para pengikutnya untuk memulai membersihkan dan merambas hutan. Pada saat merambas hutan, banyak para pengikut dari Rsi Markandeya yang sakit dan meninggal dan ada juga yang mati karena dimakan binatang buas. Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya agar kembali ke Jawa yaitu ke tempat pertapaan semula untuk memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widhi. Entah seberapa lamanya, pada suatu hari yang baik, beliau kembali bercita-cita untuk melanjutkan perambasan hutan yang dilakukannya sebelumnya. Singkat cerita, beliau pun menemukan hari yang baik lalu datang ke tanah Bali untuk melanjutkan perambasan hutan. Kali ini, beliau mengajak pengikutnya yang berjumlah 4000 orang yang berasal dari Desa Aga yaitu Penduduk yang tinggal di lereng Gunung Rawung. Seperti sebelumnya, para pengikut membawa peralatan serta perlengkapan dan ditambah alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam disebuah tempat yang baru.

Setelah tiba di tempat tujuan, Rsi Markandeya segera melakukan pertapaan yoga semadi bersama para yogi lainnya, lalu melakukan upacara Dewa Yadnya dan Bhuta yadnya. Setelah yadnya tersebut selesai, para pengikut diperintahkanNya untuk melakukan perambasan hutan tersebut. Setelah melakukan kegiatan tersebut hingga bersih, lalu dilakukanlah pembagian tanah oleh Rsi Markandeya untuk para pengikutnya masing-masing untuk dijadikan sawah, tegal, dan perumahan.



Dengan demikian, pengikut Rsi Markandeya yang berasal dari Desa Aga itu menetap di tempat tersebut sampai sekarang. Tempat dimulainya perambasan hutan itu ditanam kendi berisi air serta 5 jenis logam, diantaranya; emas, tembaga, perak, perunggu, dan besi yang dapat disebut panca datu dan permata mirahadi. Disertai dengan upakara dan percikan tirta pengentas. Tempat menanam 5 jenis logam tersebut diberi nama Basuki yang berarti selamat. Ditempat tersebut pula didirikan pelinggih. Seiring berjalannya waktu, di Pelinggih tersebut pun didirikan pura yang diberi nama PURA BASUKIAN. Pura inilah cikal-bakal berdirinya Pura Besakih dan pura-pura lainnya. Pembangunan pura di Pura Besakih dilakukan dengan bertahap dan berkelanjutan dan dengan disertai oleh perbaikan yang dilakukan secara terus menerut dan dari masa ke masa.

Saat ini, Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih serta 18 Pura pendamping. Salah satunya ialah Pura Basukian, pura yang satu ini adalah tempat pertama kalinya diterima wahyu Tuhan oleh Rsi Markandeya. Diantara banyak pura yang terdapat di Pura Besakih, Pura Penataran Agung lah Pura dengan wilayah terluas serta pelinggih yang banyak, selain pelinggih yang banyak, upakara yang digunakan pun banyak pula. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 Candi utama yang dipercayai sebagai simbol stana dari Tuhan yaitu Tri Murti, Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, serta Dewa Siwa senagai Pelebur. Keberadaan bangunan Pura Besakih tidah hanya sekedar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan, namun, menurut kepercayaan umat Hindu Dharma, yang terbesar di Pulau Bali, namun di dalamnya terdapat keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung, sering disebut gunung tertinggi di Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk Bali dan sekitarnya. Sehingga tepat di lereng barat daya Gunung Agung dibuatkan bangunan untuk umat manusia yang bermakna filosofis.

Selain tempat melakukan yadnya, Pura Besakih pun dijadikan tempat wisata untuk wisatawan asing, dan bila ingin memasuki wilayah pura haruslah mengenakan Kamben dan pakaian adat Hindu yang sopan dan menutupi aura. Sekian artikel mengenai BERDIRINYA PURA BESAKIH. terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan karena saya adalah manusia, dan manusia pasti tak luput dari kesalahan.

Sumber : Input Bali