Tuesday, February 28, 2017

Makna Penjor dalam Hari Raya Galungan dan Kuningan

Hai, semua orang pasti sudah mengetahui tentang simbol-simbol, tidak hanya kita yang perlu, negara, agama, dan semua pun butuh dengan yang namanya simbol. Dengan simbol yang berbeda kita dapat lebih mengenali entah itu barang, sifat, rasa, dll. Tujuan menggunakan simbol hanyalah satu, yaitu untuk mendapatkan keuntungan.



Dalam upacara terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh makna yang tinggi , dimana makna tersebut menyangkut isi alam semesta dan beberapa keinginan makhluk hidup kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita Karana. Salah satu contohnya adalah Hari Raya Galungan dan Kuningan. Nah, sebelum pelaksanaan hari raya tersebut kita harus memasang beberapa simbol-simbol terlebih dahulu, tahukan anda, apa sajakah simbol yang saya maksud? yuk simak dibawah ini.


Penjor

Dalam Agama Hindu terdapat 2 (dua) jenis penjor, yaitu Penjor Sakral dan Penjor Hiasan. Penjor Sakral termasuk bagian dari upacara keagamaan, seperti seperti halnya upacara Galungan dan Kuningan, serta piodalan di pura-pura. Sedangkan Penjor hiasan biasanya digunakan saat adanya pesta seni atau beberapa kegiatan lainnya. Penjor Hiasan tidak berisi sanggah, tidak terdapat pala bungkah / pala gantung, porosan, dll. Tetapi, Penjor sakral yang digunakan untuk upacara harus berisi sanggah, pala bungkah dan pala gantung, porosan, sampian, jajan, dll. Pada upacara hari raya Galungan dan Kuningan biasanya menggunakan penjor, penjor biasanya dibuat sebelum hari raya galungan dan dipasang sehari sebelum galungan atau sering disebut Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya Dharma. Bahan pembuatan penjor adalah bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur, serta dedaunan yang masih muda seperti plawa. Perlengkapan penjor yaitu pala bungkah berupa umbi-umbian seperti ketela rambat, Pala Gantung berupa kelapa, mentimun, pisang, atau nanas. Pala wija seperti jagung, padi, dll. Lengkap dengan sanggah yang membuat sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk persegi empat, serta atapnya melengkung setengah lingkaran. Penjor dipasang didepan pojok kanan angkul-angkul (pintu masuk rumah).

Tujuan Pemasangan penjor adalah sebagai wujud rasa bakti dan tanda terimakasih atas karunia yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi. Bambu tinggi melengkuh diartikan sebagai gunung yang tertinggi sebagai tempat suci, serta hiasan yang terdiri dari pala gantung, pala wija, pala bungkah, jajan, serta hiasan lainnya adalah wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikaruniai oleh Tuhan. Sekian dulu yaa, semoga bermanfaat. Ngomong-ngomong manis Galungan dan manis Kuningan mau melali kemana nih? mumpung udah deket. Kalo kurang inspirasi buat tempat trip, melali entah sama temen, keluarga, atau pasangan bisa kunjungi AIR TERJUN DI BALI, TEMPAT WISATA DI BALIKULINER DI BALI. Sekian ya, terimakasih atas kunjungannya.

Monday, February 27, 2017

Hari Raya Galungan dan Kuningan

Blii, Hari Raya Galungan dan Kuningan sampun nampekkkk. Tau kah kalian apa itu Hari Raya Galungan dan Kuningan? kapan datangnya galungan dan kuningan ini? dan apakah makna dari hari raya ini? nah, semua jawaban tersebut telah disediakan di bawah, yuk simak selengkapnya dibawah ini.




Hari Raya Galungan 

Hari Raya Galungan terwujud karena kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan), sehingga pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan, kita yang beragama Hindu melakukan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).


Galungan adalah menyatunya kekuatan rohani  agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Karena bersatunya rohani dan pikiran yang terang, ini merupakan wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah wujud adharma. Upacara Galungan memiliki arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Bukan berarti bahwa Bumi / jagat raya ini lahir pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan untuk umat Hindu di Bali agar menghaturkan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas terciptanya alam semesta beserta isinya.





Hari Raya Kuningan

Hari Raya Kuningan atau sering disebut Tumpek Kuningan yang jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, wuku Kuningan. Pada hari ini, umat Hindu mlakukan pemujaan kepada para Dewa dan Pitara untuk memohon keselamatan tentang perlindungan dan tuntunan lahir-batin. Pada hari raya Kuningan ini, diyakini para Dewa, Bhatara, dan diiringi oleh Pitara turun ke bumi hanya sampai tegah hari saja, sehingga pelaksanaan upacara  dan persembahyangan Hari Raya Kuningan dilakukan pada pagi hari sampai siang hari.


Beberapa perlengkapan khas Hari Raya Kuningan yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Sang Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak marabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan Hyang Widhi, para Dewa, serta Leluhur kita. Dengan menghaturkan Sesayut Dirgayusa dan Panyeneng, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, yang biasanya disebut dengan hari Pegat Wakan dan merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan dan Kunginan. dengan itu 



Tetebusan kehadapan Sang Hyang Widhi dengan demikian berakhirlah semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan selama 42 Hari yang terhitung sejak Sugian Jawa. Dari penjelasan tersebut, masihkah anda kurang mengerti dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan?

Sunday, February 26, 2017

Pura Kahyangan Tiga


Bali, merupakan pulau yang sering disebut Pulau Dewata, disebut demikian karena di Bali terdapat banyak Pura. Pada setiap desa  adat ada pun Pura yang harus di bangun, yaitu Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan tiga terdiri dari dua kata yaitu Kahyangan dan tiga, kahyangan berasal dari kata "Hyang" yang berarti Suci, dan tiga yang berarti tiga, jadi Pura Kahyangan Tiga memiliki arti Tiga buah tempat suci yang biasa disebut PURA. Kahyangan tiga adalah simbol dari keyakinan Umat Hindu terhadap Dewa Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa). Pura Kahyangan Tiga terdiri dari:

1. Pura Desa yang merupakan tempat pemujaan Dewa Brahma yang menciptakan alam semesta.
2. Pura Puseh yang merupakan tempat pemujaan Dewa Wisnu yang bertugas sebagai pemelihara.
3. Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa yang memiliki tugas sebagai pelebur.

Banyak orang menyebut sejarah Pura Kahyangan tiga yang ada di setiap Desa Adat masih belum pasti, mungkin hal itu disebabkan karena kurangnya informasi mengenai legenda-legenda dari nenek moyang kita. Akan tetapi, ada yang menyebutkan bahwa adanya Pura Kahyangan Tiga berawal dari ketika pada masa sebelum pemerintahan Raja Udayana dan Gunapriya Darmapatni pada tahun 898 M sampai 1011 M.

Tetapi karena adanya banyak aliran- aliran di Bali seperti: Pasupata, Bairawa, Brahmana, Rsi, Ganapatya, Sidanta, dan masih banyak lainnya menyebabkan adanya perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di aliran satu dengan yang lainnya sehingga memberi pengaruh buruk pada pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.

Merasakan hal yang demikian, Raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pertemuan para tokoh-tokoh Agama di Bali. Pertemuan para tokoh-tokoh agama tersebut bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar. Setelah pertemuan tersebut menghasilkan sebuah keputusan yang mengharuskan agar dalam lingkungan masyarakat Desa dibangun Pura Kahyangan Tiga, yang memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Tri Murti yaitu: Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa yang merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Berdasarkan keyakinan dari dahulu, Pura Kahyangan Tiga harus ditempatkan di tempat yagn benar, agar tidak terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.  Penempatan Pura Kahyangan tiga harus dalam letak yang benar, yaitu:

  1. Pura Desa dibangun di tengah-tengah salah satu sudut dari pada Catur Pata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat wantilan, serta pasar yang lengkap dengan Pura Melanting.
  2. Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan desa yang mengarah ke pantai, oleh sebab itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara.
  3. Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa, karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Dewa Siwa yang berfungsi mempralina atau melebur segala makhluk hidup.


Selain Berwujud tiga buah pura, Pura Kahyangan Tiga bisa juga dibangun hanya dengan dua buah Pura saja, Pura Puseh dan Pura Desa bisa disatukan, biasanya disebut Pura Puseh-Desa Bale Agung. Pura dalem tidak boleh disatukan dengan pura Puseh atau Desa, karena letaknya di tebenan yang dekat dengan kuburan.




Sekian informasi tentang Pura Kahyangan Tiga, di daerah kalian bagaimana keadaan Pura tersebut? semoga masih tetap utuh dan tetap ada, mungkin didaerah kalian sudah tidak dibangun atau memang tidak ada dari dulu, entah karena alasan apa. Semoga daerah yang masih terdapat Pura Kahyangan Tiga tidak hilang karena jaman. TETAP DIJAGA DAN DILESTARIKAN nggih semeton.

Thursday, February 23, 2017

Makna Hari Raya Saraswati




Hari Raya Saraswati adalah hari yang penting bagi umat Hindu, khususnya bagi para pelajar, karena umat Hindu mempercayai hari Saraswati adalah turunnya ilmu pengetahuan yang suci kepada umat manusia untuk kemakmuran, kemajuan, perdamaian, dan meningkatkan keberadaban umat manusia. Hari Raya Saraswati diperingati setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari saniscara umanis wuku watugunung.




Di hari Saraswati, biasanya para pelajar datang ke sekolah terlebih dahulu untuk mengikuti persembahyangan setelah itu dilanjutkan sembahyang ke pura-pura lainnya. Pura yang biasanya menjadi favorit anak remaja terutama pelajar adalah Pura Jagatnatha yang berlokasi di pusat kota. Di sekolah, di Pura, di rumah, maupun di perkantoran semua buku, lontar, pustaka-pustaka dan alat-alat tulis di letakkan pada satu tempat untuk diupacarai.



Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari saniscara umanis, wuku watugunung. Pada hari itu, Umat Hindu merayakan hari yang penting tersebut. Dalam legenda, digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/istri Dewa Brahma yang merupakan dewa pencipta. Dewi Saraswati adalah Dewi pelindung, pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.


Makna dari simbol Dewi Saraswati:
  1. Wanita cantik mempunyai arti simbolis, bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat mulia, luhur, dan menarik.
  2. Bertangan empat adalah lambang dari Catur Weda Samitha, yaitu : Reg Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci Agama Hindu yang memuat kumpulan sabda-sabda Tuhan.
  3. Aksamala Atau Genitri, melambangkan konsentrasi atau meditasi.
  4. Wina adalah simbol Rta yaitu hukum alam yang abadi dan juga melambangkan nada Brahman yaitu suara suvi "OM", yang merupakan musik alam semesta atau musik angkasa.
  5. Angsa adalah lambang "Wiwekajnana" yaitu kemampuan untuk membedakan diantara yang baik dan buruk, benar dan salah.
  6. Teratai, adalah lambang kesucian.
  7. Burung Merak, adalah lambang kewibawaan.




Diatas adalah makna Hari Raya Saraswati yang biasanya dilaksanakan oleh siswa dan orang-orang yang mengabdi-mengabdi ilmu pengetahuan yang jatuh pada hari Saniscara umanis, wuku watugunung. Terimakasih telah berkunjung, semoga bermanfaat.


Monday, February 20, 2017

CALONARANG

Haii, pernahkah kalian mendengar kata calonarang? tau kah anda apakah calonarang itu? dari manakah asal muasalnya ? nah, di bawah ini adalah cerita singkat tentang Calonarang. Disimak dengan baik yaa temann.






CALONARANG adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke- 12. Calonarang terjadi hampir seribu tahun lebih, namun namanya sebagai tokoh anttagonis masih melegenda, termasuk di daerah asalnya yaitu Dusun Butuh, Sukorejo, Kabupaten Kediri. 



Kisah Calonarang muncul saat zaman Raja Airlangga 1006-1042 M yang memerintah di Jawa Timur sejak 1021 M. Calonarang diceritakan sebagai seorang janda yang menguasai ilmu hitam dan penganut aliran Dhurga yang sakti dan jahat. karena sangat jahat tersebut, warga menamainya Calonarang, sebelumnya ia sering dijuluki "Rondo Naten Girah".


Kemarahan Calonarang menyebabkan wabah di Kerajaan Airlangga. Ketika tengah malam tiba, semua masyarakat telah beristirahat dengan suasana yang gelap dan sunyi senyap, apalagi pada saat itu adalah hari Kajeng Kliwon, yang merupakan hari yang dianggap keramat. Ketika itulah Calonarang dan para sisya atau murid dari Ibu Calonarang yang sudah berubah menjadi leak datang ke desa-desa yang berada di wilayah pesisir Kerajaan Kediri.

Berbagai sinar yang berwarna-warni bertebaran di angkasa, desa pesisir Kerajaan Kediri bagaikan dibakar dari angkasa. Ketika itu pula, penduduk desa telah tidur lelap. Lalu, dengan kedatangan pasukan leak tersebut, penduduk desa yang mulanya tertidur lelap menjadi bangun dan bingung, karena merasa udara menjadi panas yang membuat tidur mereka terganggu. Para anak-anak yang gelisah, dan terdengar suara tangisan bayi di tengah malam tersebut. Gonggongan anjing saling bersautan, demikian juga suara burung gagak terdengar. Ditambah lagi dengan adanya bunyi kodok yang ramai, serta suara tokek yang ribut seakan-akan memberitahu sesuatu kepada penduduk desa.


Banyak api jadi-jadian di angkasa yang beterbangan, dan kemudian turun menuju jalan-jalan dan rumah-rumah para oenduduk desa. Api sebesar sangkar ayam mendarat di perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api-api kecil berwarna-warni. Api-api tersebut lalu berubah menjadi leak beraneka rupa, dan berkeliaran di sepanjang jalan.
Pada saat itu, para leak tersebut menyebarkan berbagai macam penyakit di desa-desa pesisir Kerajaan Kediri. Setelah beberapa hari mengalami kepanikan, kebingungan, seta ketakutan, akhirnya para pengurus desa, para penglingsir, dan para pemangku mengadakan pertemuan disalah satu balai banjar di desa Girah dengan tujuan untuk membahas penyakit yang menyerang masyarakat di desa pesisir Kerajaan Kediri. Setelah Raja Kediri mengetahui berita tersebut, beliau menjadi sangat murka.


Diceritakan Ki Patih Madri sebagai utusan raja telah berhasil mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan (Kawisesan). Mereka dikumpulkan di Istana dan diberikan pengarahan mengenai rencana penyerangan ke tempat Ratu Leak di Desa Girah dan menggempur Calonarang di malam hari.

Dengan kesaktiannya, Calonarang mampu menahan serangan dari pihak Kediri yang dipimpin oleh Ki Patih Madri. Calonarang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia akan diserang, sehingga Calonarang sangat mudah mengalahkannya. 
Setelah kalahnya Patih madri melawan Nyi Larung yaitu dari murid Calonarang, maka Raja Kediri sangat panik sehingga Ia memanggil Bagawanta, yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi pentakit sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.


Empu Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu Bahula yaitu putra dari Empu Bharadah ditugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasilmencuri rahasia ilmu pengeleakan milik janda sakti itu. Singkat cerita, Empu Bahula pun berhasil mencuri buku lontar yang bertuliskan Aksara Bali yang menguraikan tentang teknik pengeleakan. Setelah itu, Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah dibohongi oleh Empu Bharadah dengan memanfaatkan putranya yaitu Empu Bahula untuk pura-pura menikah dengan putrinya, dengan keadaan tersebut Empu Bahula dapat kapan saja datang ke rumah Calonarang tanpa ada yang mencurigainya, Empu Bahula pun berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan yang dimiliki oleh Calonarang.

Ibu Calonarang menjadi sangat marah lalu menantang Empu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu, yaitu disebuah kuburan yang sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri. Pertarungan pun terjadi dengat sangat dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu Calonarang yang dibantu oleh para Sisyanya dengan melawan panguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadan yang dibantu oleh Pasukan Balayu Kediri.


Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi, dan karena ilmu hitam mempunyai kekuatan yang dapat digunakan hanya pada saat malam hari saja, setelah siang datang, Ibu Calonarang akhirnya tidak kuat untuk melawan Empu Bharadah. Calonarang terdesak dan para sisya nya pun banyak yang telah tewas dalam pertempuran tersebut. Calonarang lalu tewas ketika ia berubah wujud menjadi garuda dan terkena tembakan dari senjata pusaka Jaga Satru oleh Empu Bharadah. Segera Calonarang berubah wujud kembali menjadi sosok manusia. Ratu Leak Calonarang yang sangat sakti tersebut menjadi lemah tak berdaya dengan kesaktian senjata Pusaka Jaga Satru Empu Bharadah. Setelah meninggalkan kediri bisa diatasi.


Sekian dulu cerita tentang Calonarang, semoga dapat diresapi, saran saya agar janganlah berbuat seenaknya terhadap siapapun, dan berbuat baiklah selalu kepada semua orang. Terimakasih telah membaca postingan ini. Jangan lupa Share and Commentt yaa