Thursday, March 30, 2017

Asal Muasal Nama Pulau "BALI"

Om Swastyastu, apa kabar semeton Bali sekalian? semoga sehat selalu. Pernahkah kalian berpikiran dari manakah asal nama BALI itu digunakan? nah, jika kalian ingin tahu asal usulnya simak nih selengkapnya dibawah ini.

Tahukah kalian nama tokoh terkenal yang merupakan pertapa sakti di Gunung Raung? Semenjak kedatangannya ke Bali yaitu pada abad ke- 7, yaitu Rsi Markandeya. Beliau datang ke Bali pada abad ke- 7 untuk menyebarkan Agama Hindu ke seluruh Dunia. Pada mulanya, Rsi Markandeya bertapa di sebuah gunung yang bernama Gunung Demulung, dan berpindah ke Gunung Hyang. Seletah beberapa lama beliau melakukan pertapaan di Gunung tersebut, lalu Beliau mendapat titah dari Sang Hyang Widhi Wasa agar datang dan membersihkan hutan di Pulau Dawa (Panjang), disebut Pulau Dawa karena memang dulunya pulau tersebut panjang dan lebar sebelum pisahnya Pulau Jawa dan Bali.

Setelah menentukan hari baik, Beliau pun pergi ke hutan belantara tersebut lengkap dengan 800 pengikutnya yang membawa alat-alat yang lengkap. karena banyak pengikutnya yang tewas akibat sakit, dimakan binatang buas, dan lainnya, Beliau pun akhirnya kembali ke pertapaannya dan mencari jalan keluar.

Setelah melakukan semedi dan menentukan hari baik, beliau pun kembali ke hutan tersebut. Sesampainya ditempat itu, beliau lantas melakukan yadnya dengan mempersembahkan sesajen, dan dengan semangat dan tekad yang kuat beliau pun akhirnya berhasil merambas seluruh hutan tersebut. Lalu, hutan yang telah dirambas itupun dibagi kepada pengikutnya untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, dan rumah. Dan ditempat pertama beliau melakukan perambasan itu melakukan ritual dengan menanam Kendi yang berisi air dan 5 jenis logam (Panca Datu), ditempat ini pula dibangun pelinggih, seiring berjalannya waktu, pelinggih tersebut pun ditambah jumlahnya dan dibangun menjadi Pura yang disebut dengan PURA BASUKIAN. Pura Basukian lalu berubah Nama menjadi Pura Besakih, yaitu merupakan Pura terbesar di Bali yang berlokasi tepat di kaki Gunung Agung.

Dari sanalah Rsi Markandeya mengajarkan Agama kepada pengikutnya lalu menyebut Tuhan dengan Nama Sang Hyang Widhi melalui penyembahan yang dilakukan tiga hari dalam sekali, dengan menggunakan alat perlengkapan berupa bebali yaitu sesajen yang terdiri dari tiga unsur, diantaranya; air, api, dan bunga harum.
Ajaran agama ini disebut dengan Agama Bali, lalu lambat laun perkembangan pengikutnya pun mulai terlihat, dengan bertambahnya penduduk & pengikut, melalui peenyebaran ke daerah sekitar, sehingga daerah tersebut disebut dengan daerah Bali, yaitu daerah yang segala sesuatunya menggunakan bebali atau sering disebut dengan sesajen.

Dapat disimpulkan bahwa nama "BALI" berasal dari kata "BEBALI" yang berarti "SESAJEN". Dipergunakannya nama BALI ini juga ditegaskan kembali dalam kitab RAMAYANA yang disusun pada tahun 1200 SM, yang berbunyi "Ada sebuah tempat di timur Pulau Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, disana, Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya dengan mempersembahkan bebali atau sesajen. Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali, lalu kemudian berubah menjadi Pulau Bali atau Pulau Sesajen. Mungkin karena nama itulah yang menjadikan Pulau Bali tidak lepas dari yang namanya SESAJEN. Sekian artikel mengenai ASAL USUL NAMA BALI, semoga dapat menambah wawasan anda, dan mohon maaf bila ada kesalahan. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan atau ditambahkan silahkan tuliskan di komentar atau menghubungi akun sosial media saya. Terimakasih atas kunjungan anda.

Sunday, March 26, 2017

PERANG PUPUTAN BADUNG

Hei, apa kabar? semoga sehat selalu. Pernahkah anda mendengar atau mengunjungi PUPUTAN BADUNG? nah, tempat itu merupakan tempat berjuangnya rakyat BALI sampai titik darah penghabisan.

Pada tanggal 27 Mei tahun 190, sebuah perahu dagang terdampar di pantai timur Kerajaan Badung. Perahu tersebut bernama "Sri Komala", didapati, perahu tersebut berbendera Belanda yang berlayar dari Banjarmasih dengan muatan barang dagang milik pedagang Cina yang bernama "Kwee Tek Tjiang". Karena kandas dan perahu pecah, barang yang terdapat di dalam perahu tersebut pun diturunkan oleh para penumpang Sri Komala. Barang yang terdapat didalamnya antara lain peti seng, peti kayu, dan koper kulit, setelah diturunkannya muatan yang dibawa, lalu nahkoda meminta bantuan kepada syahbandar di Sanur untuk menjaga barang-barang yang telah diturunkan tersebut. Seorang warga Cina di Sanur yang bernama "Sik Bo" memberi saran untuk melaporkan peristiwa kandasnya perahu Belanda kepada "Ida Bagus Ngurah" yang merupakan penguasa daerah Sanur dengan tujuan untuk ikut mengamankan barang-barang yang diturunkan tersebut.
Untuk memeriksa kebenaran laporan itu, Ida Bagus Ngurah yang selaku penguasa Sanur berangkat ke tepo pantai untuk memeriksa. Ternyata, sesuai dengan laporan yang ada, serta tambahan barang berupa roti kering dan beberapa uang kepeng.

Dua hari setelah perahu itu terdampar, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1904, Raja Badung mengutus beberapa pasukan untuk mengadakan pemeriksaan ke pantai. Setelah itulah Kwee Tek Tjiang membuat laporan palsu kepada utusan raja, dengan menyatakan bahwa rakyat telah mencuri uang perak sebesar 3700 ringgit, dan 2300 uang kepeng. Karena tidak disertai bukti nyata yang menjelaskan kebenaran dari tuduhan tersebut, utusan raja pun tidak dapat menerima pernyataan tersebut.

Kwee Tek Tjiang datang lalu menghadap langsung dengan Raja Badung yang menolak pengaduan itu. salian dipandang tidak sesuai, Kwee Tek Tjiang juga menuduh rakyat Badung juga merampas perahu itu. Dengan keyakinan yang sangat kuat dari Raja dan Rakyat Badung,  sehingga dipandang membahayakan kedudukan Pemerintah Kolonial di Bali.

Penolakan yang tegas dari Raja Badung mengakibatkan pemerintah kolonial mengirim angkatan laut untuk memblokade ekonomi perairan laut Badung. Seiring berjalannya waktu, blokade itu terus dilakukan dan mengakibatkan Kerajaan Badung mengalami kerugian setiap hari sebesar 1500 ringgit. Selain blokade ekonomi di laut, blokade ekonomi di darat pun juga dilakukan dengan cara yaitu bekerja sama dengan beberapa raja-raja tetangga seperti; Tabanan, Bangli, Gianyar, dan Karangasem. Tetapi, hal tersebut sulit dilakukan karena hubungan yang sudah erat dengan Kerajaan Badung. Blokade yang dilakukan di darat maupun di laut ternyata tidak mempan karena Raja Badung tidak menyerah.

Karena keputusan dari Raja Badung yang tetap, lalu Gubernur Jenderal Van Hentzs mengirim surat kepada Raja Badung pada 17 Juli 1906. Surat tidak hanya dikirim kepada I Gusti Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah Made Agung, Jenderal Van Hentzs juga mengirim kepada I Gusti Ngurah Agung yang selaku Raja di Tabanan, beliau tegas memihak kepada Raja Badung.

Utusan Ekspedisi militer V sampai di Selat Badung pada tanggal 12 September 1906. Dengan kekuatan armada berjumlah 16 buah kapal, diantaranya; 7 buah kapal pengangkut dan 9 buah kapal perang, yang dilengkapi dengan meriam berbagai kaliber, serta Personil yang diikutsertakan dalam ekspedisi itu berjumlah 3053 orang, terdiri dari 2312 personil militer serta 741 orang sipil termasuk wartawan itu pun akhirnya di kirim pada sore hari untuk menyampaikan ultimatum kepada Raja Tabanan dan Raja Badung agar menyerah dalam waktu dua hari kedepan. Ultimatum tersebut ditolak dengan tegas, sehingga pasukan yang di bawa oleh Belanda mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 14 September 1906. Pabean Sanur ditempati oleh pasukan Belanda untuk dijadikan sebagai benteng pertahanan mereka untuk menyerang ke Kesiman, Laskar Badung pun sudah siap perang degan memperkuat benteng pertahanannya di depan Puri Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan.

Keesokan harinya Laskar Badung kembali menduduki beberapa Desa, diantaranya; Taman Intaran, Sindu, dan Buruan. Sempat terjadi kontak senjata antara Laskar Badung dan Batalyon 11 Pasukan Belanda di Sindu. Namun Laskar Badung yang datang dari Bengkel dan Kelandis bergerak menuju Kepisah dan sampai di Tanjung Bungkak, lalu disusul 500 Laskar dari Kesiman yang dipimpin oleh I Gusti Gede Ngurah Kesiman yang bergerak ke selatan. Berbagai macam senjata digunakan oleh pasukan tersebut, diantaranya; Tombak, Keris, Senapan, dan juga Pedang. Kehadiran Laskar Badung mengakibatkan pasukan Belanda menembakkan salvo dari benteng pertahanan Belanda yang berjarak 100 meter, lalu terjadilah pertempuran yang hebat satu melawan satu yang memenuhi seluruh Desa Sanur. Banyak korban yang berjatuhan, mulai dari pasukan Belanda yang mengalami luka-luka, dan pasukan Laskar Badung yang tercatat 33 korban tewas dan 12 orang luka-luka akibat tembakan meriam dari pasukan Belanda.

Lalu berpindah ke Renon, Laskar Badung memasang ranjau dari bambu guna untuk menghambat serangan dari Pasukan Kavaleri Belanda yang menunggangi kuda. Pertahanan juga dilakukan di desa-desa dengan mengelilingi 3 Puri, yaitu; Puri Kesiman, Puri Agung Denpasar, serta Puri Agung Pemecutan, beberapa daerah juga diperkuat, mulai dari Renon, Panjer, Sesetan, Kelandis, dan Tanjung Bungkak.

Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Rost Van Toningen meninggalkan benteng di Pabean Sanur, lalu bergerak mengikuti jalan besar ke sebelah barat menuju ke Tanjung Bungkak, dan bergerak sebelah kiri, kedatangan pasukan Belanda di Panjer langsung disambut dengan serangan yang gencar dari sekitar 2000 pasukan Laskar Badung. Karena waktu sudah hampir gelap, Belanda pun akhirnya mundur dan kembali ke bentengnya di Sanur. Pada saat mereka tiba di Pabean Sanur, pasukan Laskar Badung yang berjumlah sekitar 30 orang dari Kesiman datang untuk menyerang, tetapi, tembakan yang dilepaskan oleh angkatan laut Belanda berhasil memukul mundur Laskar Badung.

Pada tanggal 18 Septembar 1906, meriam penembak yang terletak di sebelah kanan benteng ditembak kearah Kota. Tembakan tersebut menuju ke arah Puri Kesiman, dan beberapa tembakan tersebut berhasil mengenai Puri dan sisanya mendarat di luarnya. Sebanyak 1500 pasukan Laskar ikut memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman yang dekar dengan kebun kelapa.

Pasukan Belanda lalu bergerak menuju arah utara, sementara itu pasukan Laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu lalu menyerang Rost Van Toningen, sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan Laskar Badung lalu dapat dihentikan oleh 2 peleton yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman. Lalu, kedudukan Laskar Kerajaan Badung sudah mendekati jaeak 350 meter dari pasukan Belanda. Lalu pasukan Belanda menembak, dan pasukan Laskar Badung maju dengan tujuan untuk melawan, teptapi tembakan dari Belanda mengenai mereka dan akhirnya roboh begitu saja. Laskar Kerajaan Badung memiliki kekurangan, yaitu pada kelengkapan persenjataan. Tetapi, meskipun hanya menggunakan meriam kecil dengan tembakannya yang lambat, namun ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang dan rela berkorban sampai titik darah penghabisan.

Puri Kesiman lalu dapat diduduki oleh pasukan Belanda. Karena jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman, pasukan Belanda akhirnya berpindah meninggalkan Puri Kesiman, lalu menuju Desa Sumerta pada tanggal 20 September 1906 yang bersamaan dengan gerakan pasukan, dan tembakan meriam dari benteng Belanda di Sanur yang diarahkan menuju Puri Agung Denpasar dan Puri Pemecutan. Peluru yang ditembakkan berhasil mengenai Puri dan mengakibatkan kerusakan. Laskar Badung dari tepi barat Desa Sumerta melakukan perlawanan untuk mempertahankan tepi timur Denpasar.

Lalu, Pasukan Belanda dibagi, beberapa berbaris ke sebelah kiri menuju ke Desa Kayumas, sementara yang lainnya menuju ke batas timur Denpasar. Di Puri Denpasar telah berkumpul rombongan keluarga dan pengikut setia Raja, yang berjumlah sekitar 250 orang, lalu Raja memerintahkan pasukan untuk membakar Puri Agung Denpasar.

Pasukan Belanda lainnya telah menduduki perempatan dalan Denpasar menuju Tangguntiti. Lalu, Raja dan pengikutnya keluar dari Puri dan semua membawa senjata baik laki-laki maupun perempuan mulai dari keris, atau pun tombak. Rombongan ini bergerak ke utara melalui pintu gerbang Puri dan keluar ke jalan besar, hingga tiba di persimpangan jalan Jero Belaluan.

Beberapa kali rombongan itu diperintahkan untuk berhenti, tetapi rombongan tersebut tetap bergerak sehingga semakin dekat dengan Pasukan Belanda. Lalu Raja dan Rakyat Badung berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang musuh, dan saat itu pula tembakan salvo mulai dilepaskan sehingga mengakibatkan Rakyat Badung tersungkur termasuk Raja I Gusti Ngurah Made Agung. Setelah Raja Denpasar Gugur, Rakyat yang bersama dengan rombongan Raja tersebut pun melanjutkan penyerbuannya dan tak kalah pula pasukan Belanda yang terus menyerang. Dengan cara melawan pantang menyerah, dan berperang sampai titik darah penghabisan, Raja dan Rakyat Badung rela dan ikhlas mengorbankan dirinya demi membela keberanan yang luhur. Tewas berjuang dan membela kebenaran adalah sorga bagi pasukan, yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu.

Rombongan lainnya kemudian muncul di jalan besar yang dipimpin oleh saudara tiri Raja yang masih berumur 12 tahun dengan tombak yang sangat panjang ditangannya, pasukan Belanda pun dikepung. Pada saat itu, komandan  pasukan pun memperingati untuk mundur, tetapi rombongan tersebut tidak menghiraukan dan langsung menyerang dengan buasnya. Satu persatu dari mereka pun akhirnya gugur, dan tumpukan mayat semakin bertambah.

Dengan itu, didekat perempatan jalan dari Denpasar menuju ke Tangguntiti dan Kesiman masih terjadi serangan Kerajaan Badung. Laskar Badung yang masih menduduki Jero di Tainsiat melakukan serangan terhadap pasukan Belanda. Karena peperangan yang tidak seimbangnya alat persenjataan yang digunakan, karena Belanda menggunakan persenjataan modern dan lengkap dengan pasukan militer yang profesional, sedangkan Laskar Badung hanya menggunakan jiwa dan semangat pantang menyerahnya pun dapat dijinakkan.

Lalu, Pasukan Belanda bergerak ke selatan menuju ke arah Puri Agung Denpasar dan kembali melanjutkan penyerangannya ke Puri Agung Pemecutan. Sementara di Puri Agung Pemecutan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan memerintahkan untuk membakar Puri sebelum melakukan perlawanan terhadap Belanda. Belanda lalu meninggalkan halaman Puri Agung Denpasar dan sampai di Perempatan Suci. Tembakan pun dilepaskan oleh Belanda bertujuan agar mendapat jalan didepannya, Laskar Kerajaan Badung yang bertahan diseberang sungai Badung lalu melepaskan tembakan ke arah Pasukan Belanda dengan jarak tembak 700 meter, dan berhasil mengenai sasaran, 2 orang dari pasukan Belanda menjadi korban. Pasukan Belanda lalu membalas tembakan tersebut dengan artileri meriam kaliber 3,7 yang mengakibatkan Pasukan Laskar Kerajaan Badung berguguran. Pasukan Belanda lalu bergerak maju mendekati Puri Agung Pemecutan, dan pada waktu itulah Pasukan Laskar Kerajaan Badung melakukan serangan.

I Gusti Ngurah Pemecutan yang diusung dengan tandu berkumpul dengan para punggawa, istri dan keluarganya di Puri Pemecutan. Pasukan Laskar Kerajaan Badung bermunculan disana-sini dengan menyerang menggunakan tombak dan senapan yang berjarak agak jauh dari Pasukan Belanda. Rombongan Raja bergerak secara perlahan mendekati pasukan Belanda. Setelah posisi mereka sangat dekat dengan Pasukan Belanda, Raja beserta pengikutnya bergerak semakin cepat dan menerjang Pasukan Belanda. Pada Pertarungan yang sengit itulah Raja dan pengikutnya gugur satu demi satu. Akhirnya, pada pukul 18.00, perlawanan dari Laskar Kerajaan Badung di Pemecutan yang merupakan benteng terakhir berhenti, Pasukan Laskar Kerajaan Badung akhirnya menduduki Puri Agung Pemecutan.

Sekianlah cerita singkat dari PERANG PUPUTAN BADUNG, mohon maaf bila ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Termikasih telah berkunjung.

Thursday, March 23, 2017

Keindahan Pura Lempuyang Luhur



Kalian sudah tau bukan, Bali memang sering dijuluki sebagai Pura seribu Pura. Berbagai macam Pura dengan desain yang berbeda dan berbagai Pura untuk memuja segala manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah disediakan disana, salah satunya adalah Pura Lempuyang.

Pura Lempuyang terletak di bagian timur Pulau Bali, tepatnya di Puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura Lempuyang adalah Stana dari Hyang Gni Jaya atau sering disebut dengan Dewa Iswara.



Pura Lempuyang berasal dari kata "Lampu" yang berarti Sinar dan "Hyang" sebagai sebutan Tuhan. Dari Lempuyang dapat diartikan sebagai Sinar suci Tuhan yang terang benderang. Pura Lempuyang memiliki status yang penting, sama seperti Pura Besakih, baik dalam konsep Dewata Nawa Sanga, maupun yang lainnya. Berbagai sumber lontar dan prasasti kuno menyatakan, ada tiga Pura besar di Bali yakni Pura Besakih, Pura Ulun Danu Batur serta Pura Lempuyang.

Pada tahun 1950an, ditempat yang didirikan Pura Lempuyang sekarang ini, barulah ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat menggunakan pohon yang masih hidup. Setelah pohon besar yang berada dibagian timur Pura tumbang, barulah dibangun dua Padmasana kembar dan sebuah Padmasana tunggal bale priasan.


Menurut beberapa narasumber, Pura Lempuyang dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan sekitaran abad ke 11 Masehi, yaitu pada saat Empu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah di Pulau Bali. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul menyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali sekarang yaitu dari India, yaitu Gunung Mahameru. Beberapa bagian potongan dari Gunung Mahameru dibawa dan dipecah menjadi tiga bagian. Gunung yang dimaksud adalah Gunung Batur, dan Gunung Rinjani, dan sedangkan puncak dari potongan gunung tersebut menjadi Gunung Agung di Bali serta potongan-potongan kecil dari gunung tersebut menjadi beberapa gunung di Bali seperti; Gunung Batukaru, Nagaloka, Siladnaya, Andhakasa, dan lain-lain. Gunung Lempuyang dijaga oleh Sang Hyang Agni Jayasakti yaitu putra dari Sang Parameswara, serta didampingi oleh dewa-dewa lainnya.

Gunung Lempuyang juga dapat disebut sebagai Gunung Adri Karang, Di gunung Adri Karang inilah Raja Jayasakti bersemedi, dan karena itu pula Gunung ini juga bernama Gunung Karang Semadi. Sang Hyang Guru memerintahkan Raja Jayasakti turun ke Bali untuk membangun Pura agar menjadi lebih aman dan sejahtera. Perintah Sang Hyang Guru pun dijalankan dan Raja Jayasakti membawa para Pandita dan pengikutnya untuk melaksanakan mewujudkan tugas yang diberikan tersebut. Sebelum Pertama kali dibangun Pura di Gunung Lempuyang yang digunakan sebagai stana Dewa Iswara, Raja Jayasakti melakukan semedi terlebih dahulu untuk memulai membangun kehidupan yang aman dan sejahtera di Bali. Pada saat ini, Pura Lempuyang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu utama, Madya, serta nista mandala.

Sebelum memasuki Pura Lempuyang, anda harus mengetahui pantangan dalam memasuki Pura tersbut yaitu tidak boleh berkata kasar. Selain melakukan tempat untuk beryadnya, Pura Lempuyang Luhur juga merupakan tempat wisata di Bali, Dengan latar belakang panorama Gunung Agung yang sangat indah, serta panorama hutan yang menakjubkan. Sangat cocok untuk dikunjungi guys, karena selain beryadnya kita juga sekaligus dapat berwisata ditempat ini. Sekian artikel mengenai PURA LEMPUYANG LUHUR, semoga bermanfaat ya. terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja karena kita adalah makhluk yang sama yaitu manusia. jangan lupa share ya, jika ada pertanyaan bisa disertakan dikolom komentar atau menambahkan kontak saya di media sosial kalian. Matur Suksma.

Tuesday, March 21, 2017

Pura Unik yang Dipenuhi dengan Kelelawar


Hai, apa kabar ? semoga sehat selalu, anda suka berkunjung ke Bali ? coba deh kunjungi Pura Goa Lawah, mau tau selengkapnya ? yuk simak dibawah ini.


Pura Goa Lawah berlokasi di Kabupaten Klungkung. Goa Lawah sering dikunjungi sebagai salah satu objek wisata yang ada di Bali, diantara Pura lainnya di Bali, Pura Goa Lawah tentu mempunyai chiri khas yang unik dan berbeda dari Pura lainnya. Karena, pada areal Pura terdapat sebuah goa yang dihuni oleh ribuan ekor kelelawar, menurut legenda, Goa tersebut tembus sampai ke Goa Raja yang berada di kawasan Pura Besakih.

Pura di Bali memiliki beberapa kelompok, salah satunya adalah Pura Kahyangan Jagat yang menjadi penyongsong seluruh umat Hindu di Bali, contohnya Pura Goa Lawah. Pura ini dikenal sebagai Pura Sad Kahyangan Jagat yang terletak di arah tenggara, Pura ini dipercaya sebagai Stana dari Dewa Maheswara dan Sang Hyang Basukih. Masyarakat Hindu biasanya melakukan Ajar-ajar (Kegiatan yang dilakukan setelah melakukan Upacara Agung), Pura ini merupakan simbol filosofi unsur Segara atau laut dan gunung atau simbol Lingga dan Yoni yang tidak bisa dipisahkan.


Dengan Ciri-ciri yang khas yaitu dihuni oleh ribuan kelelawar, kebisingan suara kelelawar pun setiap hari terdengar tiada henti, sejumlah pelinggih juga terdapat dimulut Goa sebagai tempat persembahyangan untuk umat Hindu, di Pura ini juga terdapat Meru yang berdiri menjulang tinggi. Biasanya, odalan di Pura Goa Lawah dilakukan setiap 6 bulan sekali tepatnya 210 hari sekali pada kalender Hindu, bertepatan dengan Anggara Kasih atau Anggara Kliwon Medangsia, dan nyejer selama 3 hari.

Pura Goa Lawah merupakan sebuah Pura peninggalan nenek moyang yang sudah mengalami pemugaran, sehingga bangunan di sekelilingnya pun terlihat kokoh, dan indah. Jika dihubungkan dengan sejarah dari Pura Sad Kahyangan di Bali, Pura tersebut dibangun atas kemampuan dari Mpu Kuturan. Beliau merupakan seorang Pandita yang memiliki peranan penting dalam menyatukan sekte-sekte di Bali dan mengenalkan konsep Tri Murti dan Kahyangan Tiga. Empu Kuturan berasal dari Pualau Jawa.

Karena usaha dari Empu Kuturan, masyarakat hindu di Bali menjadi paham akan konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga, dan Desa Pakraman. Sehingga masyarakat Hindu di Bali juga dapat memahami tentang tata cara pemujaan yang harus dilakukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Empu Kuturan juga tercatat sebagai orang yang merancang bangunan pelinggih seperti meru serta gedong-gedong yang memiliki desain ukiran Bali.



Sejarah Pura Goa Lawah berkaitan dengan perjalanan Danghyang Nirartha, beliau adalah seorang Brahmana suci dari Jawa dan datang ke Bali dalam mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran Agama Hindu, beliau datang ke Bali pada saat pemerintahan keemasan dari kejaraan Waturenggong di Gelgel. Dan pada saat perjalanan beliau dari Gelgel menuju Kusamba, perjalanannya terhenti di Pura Goa Lawah ini. Pada saat beliau berada di Goa Lawah, pemandangan laut yang menawan serta gunung yang indah pun menyambut kehadiranNya. Lalu masuk ke tengah Goa dan menyaksikan ribuan kelelawar, dan bunga serta dedaunan yang jatuh dan berserakan seolah menyambut kedatangan seorang Pandita Suci dari perjalanannya dalam menyebarkan ajaran Hindu. Di tempat ini, beliau membangun sebuah Padmasana sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


Diyakini juga bahwa Pura Goa Lawah memiliki hubungan yang erat dengan Pura Besakih. Dari Goa yang terdapat di Pura Goa Lawah merupakan tempat keluarnya Ida Bhatara Hyang Basukih yang datang dari Gunung Agung melalui Goa Raja di Besakih, diyakini juga Goa yang terdapat di Goa Raja dengan Goa yang terdapat di Goa Lawah adalah tembus karena asap pada saat letusan Gunung Agung meletus juga keluar dari mulut Goa di Goa Lawah.


Demikianlah sedikit cerita sejarah dari Pura Goa Lawah di desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ini, semoga bermanfaat dan terimakasih atas kunjungan anda. Jangan lupa bagikan dan komentar yaa.

Monday, March 20, 2017

Uluwatu Temple




Hai, apa kabar ? semoga sehat selalu, kalian suka travel atau trip? dan khususnya umat Hindu mungkin ada yang ingin berlibur sekaligus bertirta yatra? nah, ini nih tempat yang bagus dan indah, kalian tau enggak dimana ? yuk simak selengkapnya di bawah ini.

Mendengar kata pura, kalian pasti teringat akan Pulau Bali, nah selain bersembahyang untuk memuja Tuhan, disini anda juga dapat menikmati keindahan pantai dari atas tebing, tepatnya di Pura Uluwatu. Kalian pernah ke Pura ini enggak? pemandangannya sangat bagus lo, Pura nya juga sangat indah. Pura Uluwatu berdiri kokoh di atas batu karang yang menjorok ke tengah laut dengan ketinggian mencapai 97 meter, dengan pemandangan pantainya dari atas inilah yang membuat Pura ini terlihat sangat indah. Tidak hanya pemandangan dari atas, pemandangan di bawahnya pun tidak kalah menarik, banyak peselancar yang memainkan papan selancarnya disana.



Pura Uluwatu ini terletak di ujung barat daya Pulau Bali, Pura ini dipercaya oleh umat Hindu sebagai penyangga dari 9 arah mata angin. Mulanya, Pura ini digunakan sebagai tempat untuk memuja seorang pendeta suci dari abad ke 11 yang bernama Empu Kuturan, yang menurunkan ajaran Desa Adat dengan semua peraturannya. Selain itu, Pura ini juga digunakan untuk memuja pendeta suci lainnya yaitu Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada tahun 1550 lalu mengakhiri perjalanannya dengan ngeluhur di tempat ini yaitu di Bali, dengan itulah asal nama Pura Luhur Uluwatu digunakan.


Di Pura uluwatu terdapat sebuah bak air yang selalu berisi air walaupun pada saat musim kering. Hal ini dianggap sebagai suatu keajaiban dari Pura Uluwatu. Karena Pura Luhur Uluwatu berada di wilayah perbukitan batu karang yang selalu mengandalkan air hujan, maka keajaiban bak yang selalu terdapat air itu dikeramatkan. Biasanya, air di bak tersebut digunakan untuk Air Tirta yang suci. Selain bak yang selalu berisi air tadi, di Pura Uluwatu juga terdapat Candi, bernama Candi Kurung, dibuat pada abad ke 11 masehi jika dihubungkan dengan Candi Kurung Bersayap yang terdapat di Pura Sakenan. Candi Kurung Padu Raksa dibuar pada zaman Dang Hyang Dwijendra pada abad ke XVI. Tempat ini juga terdapati Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Pura Uluwatu memiliki hari raya besar yang jatuh pada Hari Kliwon, pada wuku Medangsia. Pertama kalinya pada Anggara kliwon, wuku medangsia, Dang Hyang Dwijendra diberi wahyu dari Tuhan pada hari tersebut pula beliau harus pergi ke surga. Sebelum itu, beliau meminta agar Ki Pasek yang merupakan seorang nelayan untuk menyampaikan bahwa Dang Hyang Dwijendra menyimpan sebuah Pustaka di Pura Luhur Uluwatu. Lalu Ki Pasek Nambangan pun akhirnya pergi, sementara Dang Hyang Dwijendra melakukan tapa yoga semadhi, beliau pun moksa, dan Ki Pasek Nambangan hanya melihat sebuah cahaya ke angkasa.

Cerita sejarah Pura Luhur Uluwatu ini pun kemudian berkembang menjadi kepercayaan penduduk setempat dan agama Hindu sampai sekarang. Karena Pura Uluwatu merupakan Pura yang sangat penting dalam kehidupan beragama bagi masyarakat Hindu di Indonesia. Sekian artikel mengenai Pura Uluwatu, terimakasih telah berkunjung. Serta mohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja ataupun tidak.



Sunday, March 19, 2017

Tanah Lot



Pernahkah kalian berkunjung ke Tanah Lot? Tempat ini adalah tempat persembahyangan untuk agama Hindu yang berada di tengah laut. Tanah Lot berlokasi di Beraban, kediri, Kabupaten Tabanan, tempat ini merupakan bagian dari Pura Dang Kahyangan.

Sejarah Pura Tanah Lot, dikisahkan Bhagawan Dang Hyang Nirartha melakukan misi penyebaran Agama Hindu dari Jawa ke Bali. Pada saat itu, Raja Dalem Waturenggong ada penguasa pulau Bali. Karena penyambutan kedatangan Dang Hyang Nirartha dilakukan dengan baik, beliau pun berhasil menyebarkan agama Hindu sampai ke pelosok-pelosok desa yang ada di Bali.

selanjutnya, Dang Hyang Nirartha melihat sinar suci dari arah laut Bali, lalu beliau mencari sumber sinar tersebut dan sampailah beliau di sebuah pantai di sebuah desa yang bernama desa Beraban Tabanan. Pada saat tersebut, desa itu dipimpin oleh bendesa Beraban Sakti yang sangat menentang ajaran dari Dang Hyang Nirartha dalam melakukan penyebaran agama Hindu. Lalu, Dang Hyang Nirartha melakukan meditasi, tepatnya di atas batu karang yang memiliki bentuk menyerupai burung beo. Dengan banyak cara Bendesa Beraban ingin mengusir Dang Hyang Nirartha dari tempat meditasinya itu.

Dengan kekuatannya, Dang Hyang Nirartha memindahkan baru karang yang dijadikannya sebagai tempat meditasi ke tengah pantai. Batu karang itu diberi nama Tanah Lot yang memiliki arti batu karang yang berada di tengah laut. Semenjak Bendesa Beraban Sakti melihat hal tersebut, ia mengakui kesaktian yang dimiliki oleh Dang Hyang Nirartha, dan ia pun menjadi pengikut dari Dang Hyang Nirartha untuk memeluk agama Hindu serta penduduk lainnya.
Selanjutnya, Dang Hyang Nirartha meninggalkan Tanah Lot. Tetapi, sebelum meninggalkan tempat itu, beliau sempat memberi keris sakti yang dapat menyembuhkan penyakit yang menyerang tanaman. Keris tersebut lalu disimpan di Puri Kediri serta dibuatkan upacara keagamaan di Pura Tanah Lot setiap 6 bulan sekali, karena rutin melakukan upacara ini, kehidupan penduduk di daerah Tanah Lot pun menjadi meningkat tajam dengan hasil panen pertanian yang melimpah dan mereka pun hidup dengan saling menghormati.

Pura Tanah Lot sampai sekarang sering terganggu oleh abrasi, dan pengikisan akibat ombak serta angin. Karena kejadian tersebut, pemerintah di Bali pun melakukan pemasangan tetrapod sebagai pemecah gelombang dan memperkuat tebing di sekitaran pura berupa karang buatan. Pada tahun 1987 dilakukan pemasangan pemecah gelombang (tetrapod) seberat 2 ton yang diletakkan didepan Pura Tanah Lot. Namun, peletakan tetrapod mengganggu keindahan dan keasrian alam sekitarnya lalu diadakan studi kelayakan yang melibatkan tokoh agama serta masyarakat daerah setempat. Perlindungan Pura mulai dilakukan sekitar bulan juni 2000 dan selesai pada bulan februari 2003 melalui dana bantuan pinjaman Japan Bank Internasional Cooperation (JBIC) sebesar 95 miliar rupiah. Keseluruhan pekerjaan yang meliputi bangunan wantilan, candi, area parkir, paebatan, seta penataan jalan dan taman.

Inginkah anda berkunjung ke Tanah Lot? anda bisa melihat lokasi dan mencari tempat tersebut dengan melihat Petunjuk arah menuju Pura Tanah Lot. Sekian dulu artikel mengenai Pura Tanah Lot, tunggu postingan berikutnya lagi ya mengenai Bali. terimakasih telah berkunjung dan mohon maaf bila ada kesalahan yang disengaja maupun tidak.

Friday, March 17, 2017

BERDIRINYA PURA BESAKIH





Pura Besakih merupakan Pura terbesar yang berada di wilayah Bali, tepatnya di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Dahulu, tempat yang digunakan sebelum dibangunnya Pura Besakih hanya terdapat banyak kayu di sebuah hutan belantara. Dan sebelum adanya Selat Bali, Pulau Bali dan Pulau Jawa dulu masih menjadi satu, pulau ini bernama Pulau Dawa (panjang). Di sebuah tempat di Jawa Timur tepatnya di Gunung Rawang, ada seorang pertapa yang bernama Rsi Markandeya, beliau sering dijuluki sebagai Bhatara Giri Rawang karena ketinggian ilmu bhatin, kesucian rohani, serta kecakapan dann kebijaksanaan yang dimili oleh-Nya.

Pada mulanya, Rsi Markandeya bertapa di sebuah gunung yang bernama Gunung Demulung, lalu pindah ke Gunung Hyang. Sekian lama beliau melakukan pertapaan disana, lalu Rsi Markandeya pun mendapat titah dari Sang Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya membersihkan hutan di Pulau Dawa hingga bersih, lalu tanah tersebut dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.

Kemudian beliau berangkat ke tanah Bali dengan pengikutnya yang berjumlah 800 orang lengkap dengan perlengkapan serta peralatan yang diperlukan. Sesampainya di tempat tujuan, beliau memerintahkan para pengikutnya untuk memulai membersihkan dan merambas hutan. Pada saat merambas hutan, banyak para pengikut dari Rsi Markandeya yang sakit dan meninggal dan ada juga yang mati karena dimakan binatang buas. Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya agar kembali ke Jawa yaitu ke tempat pertapaan semula untuk memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widhi. Entah seberapa lamanya, pada suatu hari yang baik, beliau kembali bercita-cita untuk melanjutkan perambasan hutan yang dilakukannya sebelumnya. Singkat cerita, beliau pun menemukan hari yang baik lalu datang ke tanah Bali untuk melanjutkan perambasan hutan. Kali ini, beliau mengajak pengikutnya yang berjumlah 4000 orang yang berasal dari Desa Aga yaitu Penduduk yang tinggal di lereng Gunung Rawung. Seperti sebelumnya, para pengikut membawa peralatan serta perlengkapan dan ditambah alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam disebuah tempat yang baru.

Setelah tiba di tempat tujuan, Rsi Markandeya segera melakukan pertapaan yoga semadi bersama para yogi lainnya, lalu melakukan upacara Dewa Yadnya dan Bhuta yadnya. Setelah yadnya tersebut selesai, para pengikut diperintahkanNya untuk melakukan perambasan hutan tersebut. Setelah melakukan kegiatan tersebut hingga bersih, lalu dilakukanlah pembagian tanah oleh Rsi Markandeya untuk para pengikutnya masing-masing untuk dijadikan sawah, tegal, dan perumahan.



Dengan demikian, pengikut Rsi Markandeya yang berasal dari Desa Aga itu menetap di tempat tersebut sampai sekarang. Tempat dimulainya perambasan hutan itu ditanam kendi berisi air serta 5 jenis logam, diantaranya; emas, tembaga, perak, perunggu, dan besi yang dapat disebut panca datu dan permata mirahadi. Disertai dengan upakara dan percikan tirta pengentas. Tempat menanam 5 jenis logam tersebut diberi nama Basuki yang berarti selamat. Ditempat tersebut pula didirikan pelinggih. Seiring berjalannya waktu, di Pelinggih tersebut pun didirikan pura yang diberi nama PURA BASUKIAN. Pura inilah cikal-bakal berdirinya Pura Besakih dan pura-pura lainnya. Pembangunan pura di Pura Besakih dilakukan dengan bertahap dan berkelanjutan dan dengan disertai oleh perbaikan yang dilakukan secara terus menerut dan dari masa ke masa.

Saat ini, Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih serta 18 Pura pendamping. Salah satunya ialah Pura Basukian, pura yang satu ini adalah tempat pertama kalinya diterima wahyu Tuhan oleh Rsi Markandeya. Diantara banyak pura yang terdapat di Pura Besakih, Pura Penataran Agung lah Pura dengan wilayah terluas serta pelinggih yang banyak, selain pelinggih yang banyak, upakara yang digunakan pun banyak pula. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 Candi utama yang dipercayai sebagai simbol stana dari Tuhan yaitu Tri Murti, Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, serta Dewa Siwa senagai Pelebur. Keberadaan bangunan Pura Besakih tidah hanya sekedar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan, namun, menurut kepercayaan umat Hindu Dharma, yang terbesar di Pulau Bali, namun di dalamnya terdapat keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung, sering disebut gunung tertinggi di Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk Bali dan sekitarnya. Sehingga tepat di lereng barat daya Gunung Agung dibuatkan bangunan untuk umat manusia yang bermakna filosofis.

Selain tempat melakukan yadnya, Pura Besakih pun dijadikan tempat wisata untuk wisatawan asing, dan bila ingin memasuki wilayah pura haruslah mengenakan Kamben dan pakaian adat Hindu yang sopan dan menutupi aura. Sekian artikel mengenai BERDIRINYA PURA BESAKIH. terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan karena saya adalah manusia, dan manusia pasti tak luput dari kesalahan.

Sumber : Input Bali
                

Wednesday, March 15, 2017

Tradisi Melayangan di Bali

Hai, apa kabar? semoga dalam keadaan baik, mengenai layang-layang yang merupakan tradisi di daerah Bali, mulai dari daya imajinasi untuk melahirkan ide hingga timbulnya layang-layang yang sangat kreatif dari masyarakatnya adalah suatu penghargaan yang sangat besar untuk Bali.
Bermain layang-layang atau sering disebut dengan melayangan bermula dari sebuah permainan masyarakat yang sangat sederhana, Tradisi Melayangan ini telah terjadi secara turun temurun yang diwariskan oleh masyarakat di  Bali.

Tuesday, March 14, 2017

Napi Makna Hari Raya Siwaratri?

Hai, pernahkah kalian mendengar kata Siwaratri? Buat yang agama Hindu pasti udah enggak asing lagi mendengarnya. Hari raya Siwaratri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna Paksa Bulan Magha tepatnya Panglong ping 14 pada sasih kapitu. Pada saat Siwaratri ini umat Hindu di Bali melaksanakan pemujaan terhadap manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Dewa Siwa. 


Pada hari Siwaratri ini seluruh umat Hindu memuja Dewa Siwa, karena pada hari tersebut dipercayai sebagai Dewa Siwa melakukan Yoga, dan bagi siapapun yang melakukan yoga semadi dengan bergadang semalaman penuh akan mendapatkan penyucian diri, hal ini berkaitan dengan kisah Si Lubdaka. Pelaksanaan Siwaratri dapat dijalankan dengan melakukan Brata, pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yang dapat dilakukan dengan kemampuan dari orang yang akan melakukan brata tersebut.

1. Utama, melakukan : 
                a. Monabrata ( berdiam diri dan tidak berbicara).
                b. Upawasa ( tidak makan dan tidak minum).
                c. Jagra (berjaga, dan tidak tidur).

2. Madya, melakukan;
                a. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
                b. Jagra (berjaga, dan tidak tidur).
3. Nista, yang hanya melaksanakan:
                A. Jagra (berjaga, dan tidak tidur).

Bagi umat Hindu yang ingin melaksanakan brata pada hari Siwaratri tidak usah khawatir, karena brata dapat dipilih dan dilakukan sesuai dengan kemampuan kita. Hal ini karena masing-masing orang mempunyai keadaan yang berbeda, dan sesuatu apapun yang dilakukan secara terpaksa pasti hasilnya akan buruk. Selain itu, adapun runtutan acara yang dapat dilaksanakan pada saat hari Siwaratri ini, yaitu:
1. Meprayascita dilakukan sebagai pembersihan pikiran dan bathin. 
2. Ngaturang pejati di Sanggah Surya, serta bersembahyang ke hadapan Ida Sang Hyang Surya untuk memohon kesaksian-Nya. 
3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah tiada, memohon bantuan dan tuntunannya. 
4. Ngaturang Pejati ke hadapan Sang Hyang Siwa, yaitu banten ditempatkan pada pelinggih padma atau pada Piasan di pemerajan, serta diikuti dengan persembahyangan yang ditujukan kepada :
- Sang Hyang Siwa- Dewa Samodaya
Setelah sembahyang serta nunas tirta pakuluh, dilanjutkan dengan masegeh di hadapan Sanggah Surya.

5. Setelah melakukan beberapa kegiatan tadi, dan agar kita tetap mentaati upowasa dan jagra. Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih kapitu hingga besok paginya, berlangsung selama 24 jam. Setelah berlangsungnya upawasa selama 24 jam, lalu setelah 12 jamnya tepatnya pada jam 12 malam, anda sudah bisa makan nasi putih berisi garam serta minum air putih. Jagra dimulai sejak panglong ping 14 dan berakhir besok pada sore harinya pukul 18.00.  
6. Melakukan persembahyangan tiga kali pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih kapitu, tengah malam, dan besoknya pada dini hari.

Setelah semua itu dilakukan percayalah, dosa yang anda perbuat sebelumnya akan dikurangi. Dan jika anda mampu melakukan Utama brata, lakukanlah, belajar sedikit demi sedikit sehingga anda merasa terbiasa dengan melakukan brata. Sekian informasi yang saya bagikan ini, semoga bermanfaat.


sumber: 


Saturday, March 11, 2017

Apakah Makna Dari Hari Raya Nyepi?

Masyarakat Bali terutama Hindu mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Hari Raya Nyepi. Nyepi biasanya diadakan setiap satu tahun sekali tepatnya pada saat pergantian tahun baru saka. Hari ini jatuh pada Tilem Kesanga, pada hari itu dipercayai sebagai hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari dari Amerta (air kehidupan).



Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi), Hari Nyepi dimulai sejak tahun 78 Masehi, pada saat datangnya Hari Raya Nyepi ini tidak ada aktivitas apapun, semua kegiatan ditiadakan, semua pelayanan umum ditutup, seperti bandar udara, dll, tetapi tidak untuk rumah sakit. 

Tujuan utama dari Hari Nyepi adalah untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi untuk menyucikan Bhuana alit dan Bhuana agung. Sebelum Hari Raya Nyepi terdapat beberapa rangkaian acara, yaitu:

Acara pertama yang dilakukan Beberapa hari sebelum datangnya Nyepi adalah Melasti yang berarti umat Hindu melakukan penyucian ke pantai. Pada saat melasti ini, segala sarana persembahyangan yang terdapat di Pura yang berupa tempat suci, dan beberapa atribut lainnya diarak ke pantai atau pun danau, karena merupakan sumber air suci yang bisa menyucikan segala kotoan di dalam Bhuana agung dan Bhuana alit.

Acara kedua ada Pengrupukan. pada tilem sasih kesanga ini, umat Hindu melaksanakan upacara di segala tingkatan masyarakat, mulai dari keluarga, bajar, desa, kecamatan, kabupaten, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis caru sesuai tingkatan. Bhuta itu masing-masing bernama Panca Sata, Panca Sanak, dan Tawur Agung. Beberapa Bhuta Yadnya dilakukan dengan tujuan untuk memohon agar segala bhuta kala tidak mengganggu umat. 


Setelah itu, Mecaru yang dilakukan saat pengrupukan dengan cara mengobor-obori rumah dan seluruh pekarangan, memukul benda apapun hingga bersuara gaduh. Hal ini dilakukan untuk mengusir bhutakala dari lingkungan sekitar halaman rumah. Pada Pengrupukan, khususnya pada daerah Bali diramaikan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang biasanya diarak keliling banjar, maupun desa dengan tujuan yang sama yaitu mengusir bhuta kala dari lingkungan sekitar. 

Pada puncak acara Nyepi, tidak ada kesibukan dan aktivitas apapun yang dilakukan, karena pada hari tersebut umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian" yang terdiri dari:
A. Amati Geni ( tidak menghidupkan api)
B. Amati Karya (tidak bekerja)
C. Amati Lelungan (tidak bepergian)
D. Amati Lelanguan (tidak mendengarkan hiburan)

Bagi orang yang mampu boleh juga melaksanakan tapa, brata, yoga, serta semadhi, yang berarti:
Tapa : Latihan ketahanan 
Brata : Pengekangan hawa nafsu
Yoga : Menghubungkan jiwa dengan Tuhan
Samadhi : Manunggal kepada Tuhan
Semua diatas itu memiliki tujuan agar mendapat kesucian lahir batin.

Setelah menahan diri seharian dirumah, kita dapat melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga pada sehari setelah Nyepi yang biasa disebut dengan Ngembak Geni. Dengan mengucak syukur dan saling maaf maupun memaafkan satu sama lain, serta untuk memulai lembaran baru yang bersih dan suci. Dharma Shanti ini memiliki tujuan utama yaitu agar kita saling menyayangi satu sama lain serta memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan dimasa sebelumnya sehingga setelah itu hidup akan dipenuhi dengan kerukunan dan kedamaian. Sekian postingan tentang Hari Raya Nyepi kali ini, semoga bermanfaat. Jangan lupa komentar ya, bagikan juga ke kerabat, temen, sahabat, pasangan, keluarga, agar semua tahu apa Makna Dari Hari Raya Nyepi. Terimakasih atas kunjungannya.

Tuesday, March 7, 2017

Keunikan Tradisi Omed-Omedan

Taukah anda kegiatan ciuman massal di Bali? anda penasaran kan? yuk simak selengkapnya dibawah ini.

Tradisi ini adalah acara ciuman massal yang dilakukan setiap pergantian tahun Caka atau lebih tepat sehari setelah hari raya Nyepi yang datangnya setiap satu tahun sekali. Omed-omedan dapat disebut juga dengan Med-medan, acara ini rutin digelar setiap tahun, tepatnya sehari setelah Hari Raya Nyepi atau sering disebut dengan Ngembak Geni. Menurut sejarah, acara ini telah diwariskan sejak tahun 1900-an dan uniknya acara ini hanya dilakukan oleh Banjar Kaja, Sesetan. 

Berawal dari sebuah Kerajaan kecil yang bernama Puri Oka dengan Raja nya yang sedang mengalami sakit keras. Walaupun sudah mencoba berobat kemana-mana, sang raja tak kunjung sembuh. Lalu, pada Hari Raya Nyepi, masyarakat Puri Oka mengadakan permainan Omed-omedan, karena saking antusiasnya, suasana pun menjadi gaduh karena para pemuda dan pemudi saling rangkul-merangkul satu sama lain. Raja yang pada saat itu sedang sakit pun mendatangi acara tersebut dan marah besar. Sang Raja keluar dan melihat warganya sedang rangkul-merangkul, tetapi, karena melihat adegan panas tersebut tiba-tiba raja tidak lagi merasakan sakitnya, dan setelah itu raja menjadi kembali sehat seperti sedia kala. 

Raja lalu memerintahkan agar Omed-omedan harus dilakukan pada saat Hari Raya Nyepi. Acara ini telah menjadi tradisi di daerah tersebut. Konon, dahulu sekitar tahun 1970an acara ini pernah ditiadakan, lalu tiba-tiba terjadi perkelahian antara dua ekor babi di pelantaran Pura. Babi tersebut terluka dan berdarah-darah, lalu menghilang entah kemana perginya. Terjadinya peristiwa tersebut dianggap sebagai pertanda yang buruk bagi semua warga banjar. Lalu, karena terjadinya peristiwa tersebut acara Omed-omedan pun kembali dilaksanakan hingga sekarang.

Tradisi yang unik ini dilakukan diantara laki-laki dan perempuan yang tinggal satu wilayah, tepatnya di Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar. Kurang lebih 50 orang yang ikut berpartisipasi dalam acara ini. Sebelum melakukan acara ini, peserta harus memulai dengan melakukan persembahyangan di Balai Banjar agar berjalan lancar, serta mendapat keselamatan saat melakukan prosesi acara tersebut. Setelah melakukan persembahyangan , peserta dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok laki-laki dan perempuan.

Tradisi ini pun rutin diadakan setiap satu tahun sekali, sebelumnya, omed-omedan yang dilakukan pada hari Nyepi lalu pada tahun 1978 telah diputuskan untuk mengganti waktu pelaksanaan yaitu sehari setelah Nyepi atau sering disebut dengan Ngembak Geni. Sekian artikel mengenai KEUNIKAN TRADISI OMED-OMEDAN, semoga berguna untuk kedepannya sekaligus dapat menambah wawasan anda. Terimakasih telah berkunjung.

Jangan Lupa komentar dan like fanspage KESENIAN DAN BUDAYA BALI nya yaa.

Monday, March 6, 2017

Upacara yang wajib dilaksanakan di Bali



Pernahkah anda berkunjung ke Bali? taukah anda, di Bali terdapat banyak tempat wisata, entah wisata alam, atau wisata kuliner, contohnya seperti wisata air terjun di bali, tempat wisata di Bali, serta wisata kuliner di Bali. Selain keindahan alam dan enaknya masakan kuliner khas di Bali, taukah anda apa saja kebudayaan yang menjadi ciri khas budaya Bali? yuk simak dibawah ini.



Pakaian Adat Bali

Bali memiliki berbagai macam pakaian adat, untuk perempuan yang berumur belasan tahun yang masih remaja, umumnya menggunakan Sanggul Gonjer, sedangkan untuk wanita dewasa menggunakan Sanggul Tagel, serta menggunakan kemben songket, dengan menggunakan sabuk prada untuk mengikat pinggul dan dada, dilengkapi dengan kain wastra, selendang songket dari bahu ke pinggang, kain tapih, serta beberapa perhiasan.
Pria menggunakan Udeng (pada kepala), menggunakan selendang, kain (kampuh), kain wastra, keris, kemeja, serta beberapa ornament yang digunakan untuk membuat penampilan pria lebih menarik.

Rumah Adat Bali

Memiliki rumah di Bali, atau akan membangun rumah adat harus sesuai dengan aturan yang terdapat pada Kitab Suci Weda yang mengatur tenntang tata letak sebuah bangunan. Rumah adat Bali harus dibangun dengan memenuhi aspek pawongan (penghuni rumah), palemahan (lingkungan), serta parahyangan. Pada umumnya, rumah adat Bali dipenuhi dengan pernak-pernik hiasan yang berupa ukiran yang berwarna-warni, serta patung-patung sebagai simbol ritual. Bangunan rumah Adat Bali dibuat terpisah menjadi beberapa bangunan kecil yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Tetapi, seiring perkembangan jaman seperti sekarang ini banyak terdapat perubahan pada bangunan, dimana bangunannya tidak jarang yang tidak dipisahkan lagi.


Upacara Adat di Bali

Mulai dari didalam kandungan sampai meninggal. Karena dari lahir masyarakat Bali khususnya Hindu sudah mempunyai hutang yang disebut Tri Rna. Apa sajakah upacaranya? yuk simak selengkapnya dibawah ini.


1. Magedong-gedongan
Dilaksanakab pada saat bayi masih didalam kandungan yang telah berumur 7 bulan. Upacara ini tidak harus tepat pada 7 Bulan (210 hari) tetappi disesuakin dengan hari baik. Upacara ini dapat dilakukan dirumah, dipekarangan, serta dipimpin oleh Pandita, atau Pinandita.

2. Upacara Kelahiran 
 
Upacara ini dinyatakan sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran bayi tersebut ke dunia, upacara ini dilakukan pada waktu bayi baru lahir.
Upacara ini dapat dilakukan di dalam atau di depan pintu rumah yang dipimpin oleh salah satu keluarganya yang tertua, demikian juga untuk mendem ari-arinya. Jika tidak ada keluarga tertua, dapat dilakukan oleh ayah dari bayi tersebut.

3. Upacara Kepus Puser
 
Upacara Kepus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas. Pada umumnya saat bayi berumur tiga hari, tepat pada hari tersebut dilaksanakan didalam rumah terutama disekitar tempat tidur bayi tersebut. Upacara ini dapat dilakukan oleh keluarga yang tertua atau orang tua si bayi.

4. Bayi berumur 12 hari

Setelah bayi berumur 12 hari, harus dibuatkan upacara yang sering disebut dengan Upacara Ngelepas Hawon. Setelah upacara ini barulah sang anak diberi nama, dan demikian sang catur sanak yaitu keempat saudara kita setelah melukat yang berganti nama. Upacara ini dilakukan pada bayi tepat pada umur 12 hari, dapat dilakukan di dalam rumah yaitu di sumur (pemandian), sanggah kemulan, atau di dapur. Upacara ini dapat dilakukan oleh keluarga yang paling tua.

5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)

Setelah bayi berusia 42 hari, barulah upacara ini dilakukan. bertujuan untuk membersihkan lahir maupun batin si bayi serta ibunya, selain itu, berguna juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh negative. Dapat dilakukan di dalam lingkungan rumah, dipimpin oleh seorang Pandita, atau Pinandita.

6. Upacara nelu bulanin (Niskramana Samskara)

Upacara ini dilakukan pada saat bayi berusia 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon. Tempat rangkaian upacara bayi yang berumur tiga bulan ini dilaksanakan di lingkungan rumah. Upacara ini dipimpin oleh Pinandita atau Pandita. 

7. Upacara satu oton
 
Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari tepatnya pada enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan yang sekarang dapat mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

8. Upacara tumbuh gigi
 
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara yang bertujuan untuk memohon agar gigi tumbuh dengan baik. Sarananya berupa Petinjo kukus dan telor atau petino kukus dan ayam atau itik yang dilengkapi degan tataban. Dilakukan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama, upacara ini dilakukan di lingkungan rumah pada waktu matahari terbit. 

9. Upacara tanggalnya gigi pertama
Dengan tujuan untuk mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan, upacar ini pun dapat dibuat dengan sarana: banten byakala dengan sesayut tatebasan, serta dilengkapi dengan Canang sari. Upacara ini dilaukan pada waktu si anak untuk pertama kalinya mengalami ketus gigi. Tempat rangkaian upacara ini  dilaksanakan di rumah, yang dipimpin oleh keluarga tertua.

10. Upacara menek deha
 
Upacara ini dilaksanakan saat anak menginjak dewasa. Upacara ini dilakukan untuk memohon kehadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang terbaik dan tidak menyesatkan untuk si anak.




11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)

Upacara Mepandes (potong gigi) bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu pada diri si anak. Upacara ini dilaksanakan setelah anak menginjak dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu menikah. Namun, daat juga dilaksanakan setelah berumah tangga, upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pemimipin Upacara potong gigi ini dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging.

12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya. Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai laki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat istiadat setempat atau dapat disebut desa, kala, patra. Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Pemangku.

13. Upacara Ngaben



Upacara ini dilakukan pada saat seseorang telah meninggal dunia. Dikenal dengan sebutan "NGABEN", upacara ini adalah upacara pembakaran yang dilakukan kepada orang yang meninggal tersebut, yang bertujuan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya. Karena manusia memiliki bayu, sabda, serta idep, dan setelah meninggal elemen-elemen tersebut dikembalikan ke Dewa Trimurti yaitu Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang merupakan Dewa yang dipercayai oleh masyarakat Bali terutama umat Hindu.

Friday, March 3, 2017

Rahina Purnama dan Tilem

Hai, apa kabar? pernahkah anda mendengar kata Purnama atau Tilem? taukah anda apa itu Purnama dan Tilem? nah kebetulan, sekarang saya akan membuat artikel mengenai makna Hari Purnama dan Tilem.



Rahina Purnama
Pertama ada Purnama, berasal dari kata "Purna" yang berarti sempurna. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, Purnama berarti bulan yang sempurna. Pada saat ini, pemujaan ditujukan kepada SangHyang Candra yaitu Dewi Bulan, dan Sanghyang Ketu sebagai Dewa kecemerlangan untuk memohon kesempurnaan dan cahaya suci dari Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud Ista Dewata. Sang Hyang Siwa Nirmala yang beryoga pada hari Purnama menganugerahkan kesucian dan kerahayuan Sang Hyang Mecaling terhadap seisi alam dan Hyang Siwa mengutus para Dewa beserta para Apsari datang ke dunia untuk menyaksikan persembahan dari manusia khususnya umat Hindu kepada Sang Hyang Siwa. Dengan demikian, disebutlah Purnama sebagai Piodalan Nadi. Purnama sangat dipercayai kesuciannya oleh umat Hindu, oleh karena itu disebutkan dengan nama "Dewasa ayu". Tidak setiap hari purnam disebut ayu, tergantung juga pada pertemuan hari dari perhitungan wariga.

Contohnya:
            Bila Purnama datang pada hari Kala Paksa, umat Hindu tidak boleh melaksanakan upacara agama, hari itu disebut Hari Gamia (atau Jagat Letuh), sang wiku tidak boleh memuja.


Rahina Tilem

Tilem, merupakan hari ketika bulan mati, langit akan menjadi gelap tanpa ada sinar bulan. Pada saat ini, posisi bulan berada diantara matahari dengan bumi sehingga suasana menjadi gelap gulita dimalam hari. Upacara Tilem bermakna sebagai hari pemujaan terhadap Dewa Surya atau Dewa Matahari, semua umat Hindu diharapkan melakukan pemujaan dan persembahyangan dengan rangkaian berupa upacara yadnya. Umat Hindu meyakini pada hari Tilem ini mempunyai keutamaan dalam menyucikan diri dan berfungsi sebagai pelebur segala kotoran serta mala yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri, pada hari itu pula Dewa Surya beryoga/semedi memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Biasanya, dalam upacara tilem terdapat berbagai upacara yang berkaitan dengan hari Tilem ini, tau kah kalian hari apakah yang saya maksud? yuk baca bersama-sama di bawah ini:

            1. Tawur Kesanga (Pangrupukan) dirayakan pada Tilem Kesanga.
            2. Siwaratri dirayakan setahun sekali setiap purwani tilem ke-7.
            3. Eka Dasa Rudra dirayakan setiap 100 tahun sekali yaitu pada tilem kesanga
            4. Upacara Panca Wali Krama dirayakan setiap 10 tahun sekali yang dilakukan di Pura                         5. Besakih, kegiatan ini dilakukan pada saat tahun saka berakhiran dengan angka "0",                               panglong ping 15 (Tilem sasih kesanga)

Rahina Purnama dan Tilem mempunyai hubungan yang sangat erat dan tak bisa terpisahkan. Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan
"Pada saat datang Purnama dan Tilem, hendaklah manusia melaksanakan sembahyang dan upacara pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon penyucian diri, berkah dan juga kesejahteraan".

Purnama dan Tilem mengajarkan kepada manusa tentang adanya kejahatan (Adharma) serta kebaikan (Dharma), mana jalan yang terang, dan mana jalan yang gelap, dan semua itu tidak akan berakhir sampai dunia ini berakhir. Sekian artikel tentang Purnama dan Tilem, semoga menjadi inspirasi untuk kalian untuk rajin sembahyang ya. Terimakasih atas kunjungannya.

Thursday, March 2, 2017

Apa itu Hari Kajeng Kliwon?

Pada setiap penanggal pertemuan Pancawara (Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) dengan Triwara (Pasah, Beteng, Kajeng), tepatnya pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon para manusia yang berbuat dharma akan dinilai oleh para bhuta kala, yaitu hari Kajeng kliwon, Pernahkah anda mendengar kata kajeng kliwon? jika anda berasal dari Bali dan beragama Hindu, mungkin kalian tidak akan asing lagi dengan kata tersebut. Baca Juga Artikel mengenai Pura Kahyangan Tiga di Bali.

Bermula ketika Dewi Mayakrsna, yaitu Putri Batara Guru dengan Dewi Uma yang sangat cantik. Beliau memiliki nafsu yang tidak pernah puas demgam pelayanan sang suami, karena rasa bosan, sang suami pun dibunuhnya sampai 35 kali menikah lalu membunuh semua suaminya karena rasa bosan. Sampai suatu saat beliau bertemu dengan dua gandarwa bersaudara yaitu Bajrandhaksa dan adiknya Bajrangkara. Dewid Maya menikahi kedua lelaki tersebut dalam semalam di tengah Hutan Nandana di bawah pohon Asokamaya, mereka bercinta bergiliran, pada saat itu pula sang Batara Guru beryoga di tengah hutan ini, lalu disaksikanlah ulah anaknya seperti itu, tak layak sebagai penghuni alam kedewataan, maka dikutuklah mereka turun ke mayapada menjadi bhuta-bhuti yang menjaga alam semesta ini.
Dewi Maya Krsna menjadi Batur Kalika yang berwajah putih kekuning-kuningan, Bajradhaksa menjadi Bhuta Ijo, dan Bajrangkara menjadi Bhuta Abang. Merekalah yang disebut Dhurga Bhucari, Bhuta Bhucari, dan Kala Bhucari.



Kajeng Kliwon adalah peringatan hari turunnya para Bhuta Kala untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama, dan pada hari itu pula para bhuta muncul untuk menilai manusia yang telah melaksanakan dharma. Dalam hari kajeng kliwon, kita sering melihat orang-orang yang beragama Hindu di Bali menghaturkan segehan panca warna yang merupakan wujud rasa bhakti dan srada terhadap Ida Sang Hyang Widhi wasa yang telah mengembalikan alam niskala dari alam bhuta menjadi dewa yang penuh sinar. Sebagian besar orang menyatakan pada saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkepnya leak yang pada umumnya sebagaimana disebutkan. Pada malam kajeng kliwon tersebut, roh-roh jahat maupun shakta aji pangleakan akan berkumpul di Pura Dalem, Pura Prajapati, atau di Kuburan untuk mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Dewa Siwa, Dewi Durgha, dan Bhairawi. Pada saat kajeng kliwon ini, disebutkan agar melakukan upacara yadnya yang hampir sama dengan upacara Keliwon biasanya, tetapi segehan-segehan yang digunakan bertambah dengan nasi kepel panca warna, yaitu :

  1. Merah
  2. putih
  3. hitam 
  4. kuning
  5. brumbun

Dengan tetabuhannya yang berupa tuak/arak berem, dibagian atas di ambang pintu gerbang harus dihaturkan segehan yang dipersembahkan kepada Sang Tiga Bhucari, yaitu:

  • Sang Butha Bhucari
  • Sang Kala Bhucari
  • Sang Dhurga Bhucari

Dengan adanya upacara yang dilakukan pada saat kajeng kliwon ini, dengan penuh harap baik sekala maupun niskala agar dunia ini tetap menjadi seimbang.


Nah, dari cerita diatas sudah dijelaskan tentang asal muasalnya HARI RAYA KAJENG KLIWON, apakah ada yang kurang dipahami ? yuk komentar di bawah ini, jangan lupa share yaa. Matur suksma.