Wednesday, April 12, 2017

Misteri Barong dan Rangda Bali


Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik. Kalian sudah tau belum Misteri Barong dan Rangda yang ada di Bali? ini nih ceritanya, simak dengan baik yaa.

Penduduk wilayah Bali memiliki rasa percaya bahwa alam ghaib yang ada di dunia dikuasai oleh RATU GEDE MECALING, yang merupakan Penguasa Laut Selatan Bali. Semua makhluk ghaib yang terdapat adalah bawahan dari RATU GEDE MECALING ini. Pada suatu hari, saat pendeta menyarankan masyarakat setempat untuk membuat patung berwujudkan Ratu yang melinggih di Istana Pura Dalem Ped, yang berada di Nusa Penida. Patung ini dibuat untuk makhluk ghaib yang diceritakan sering mengganggu manusia.

Para makhluk ghaib yang sering mengganggu warga setempat mengira, bahwa patung yang dibuat tersebut adalah pemimpin mereka, sehingga mereka pun pergi dan ketakutan. Patung tersebut memiliki badan yang tinggi, hitam, dan besar, dan disertai pula dengan taring yang tajam, Sosok ini dikenal oleh warga dan sering disebut BARONG. Sejak saat itu, warga setempat membuat ritual, yaitu dengan mengelilingi kampung bersama dengan Barong sebagai simbol pencegahan mara bahaya. Barong adalah jelmaan dari makhluk ghaib yang berkuasa di Pulau Bali. Bagi warga Bali, pada setiap hutan dan tanah memiliki penguasa lalu diwujudkan kedalam aneka barong berbentuk hewan seperti singa, babi hutan, harimau, macan, naga, atau hewan lainnya. Di Bali, terdapat banyak Barong yang dipercayai oleh masyarakat, Seperti Barong Ket atau Barong Keket yang merupakan salah satu Barong yang sangat sering dipentaskan oleh masyarakat Bali, terutama warga yang beragama Hindu. Barong Ket atau Keket ini sama halnya seperti manusia, karena Barong ini juga memiliki sosok yaitu pria dan wanita.

Tari Barong menggambarkan pertarungan dari kebaikan (dharma) dengan keburukan (adharma). Kebaikan diwujudkan dengan karakter yang dilakoni oleh Barong, yaitu berupa penari dengan kostum binatang berkaki empat, sedangkan wujud keburukan diwujudkan sebagai sosok yang menyeramkan dan dilengkapi oleh dua taringnya yang tajam, biasanya disebut dengan Rangda.

Terdapat beberapa jenis Tari Barong yang biasanya sering ditampilkan di Bali, diantaranya yaitu; Barong Ket (Keket), Barong Bangkal (Babi), Barong Macan, Barong Landung. Tetapi, diantaranya, jenis-jenis Barong tersebut, Barong Ket (Keket) lah yang paling sering disuguhkan kepada para wisatawan, karena barong tersebut memiliki kostum dan tarian yang cukup lengkap.

Barong biasanya dipentaskan oleh dua penari, seorang penari mengambil posisi di depan dengan memainkan dan menggerakkan kepala serta kaki depan, sementara penari lainnya berada di belakang dengan memainkan kaki belakang dan ekor Barong. Barong Ket tidaklah jauh berbeda dengan Barong sai yang biasanya digunakan sebagai pertunjukan oleh masyarakat Cina. Tetapi, Barong ini berbeda yaitu pada cerita yang dijalankan, yaitu cerita pertarungan diantara Barong dan Rangda dengan dilengkapi dengan tokoh lainnya, seperti Kera, Dewi kunti, Sadewa, serta para pengikut Rangda yang lainnya.

Barong Ket

Sering juga disebut sebagai Barong Keket, Barong ini merupakan Jenis Barong yang paling banyak terdapat di Bali, dan paling sering pula dipentaskan karaena memiliki gerak tari yang lengkap. Pada umumnya, Kostum Barong Keket menggambarkan perpaduan dari harimau, singa, dan lembu. Pada badan Barong Keket dihiasi dengan ornamen ukir-ukiran yang berasal dari kulit, potong-potongan kaca cermin, dan dilengkapi juga dengan bulu-bulu dari serat daun pandan.

Barong Bangkal

Bangkal adalah seekor Babi besar yang umurnya sudah tua, oleh karena itu, Barong yang satu ini menyerupai seekor babi, Barong ini biasa pula disebut dengan Barong Bangkung. Pada umumnya, Barong ini dipentaskan dengan berkeliling di desa atau biasa disebut "Ngelawang" pada hari-hari tertentu, yaitu pada hari yang dianggap keramat dan jika ada wabah penyakit yang menyerang desa.

Barong Landung

Barong Landung merupakan suatu wujud sesuunan yang berwujudkan manusia dengan badan tinggi yang mencapai sekitar 3 meter. Barong Landung tidak sama dengan Barong Ket, karena Barong Landung lebih sakral dan diyakini kekuatannya sebagai pelindung dan juga pemberi kesejahteraan umat. Barong Landung dapat dijumpai disekitar Bali Selatan.

Barong Macan

Barong Macan memiliki bentuk yang dengan seekor macan pada umumnya, dan termasuk kedalam jenis barong yang terkenal dikalangan masyarakat Bali. Barong ini biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu pentasan drama tari semacam Arja serta dilengkapi juga dengan gamelan.

Rangda

Rangda merupakan Ratu dari para Leak yang ada dalam mitologi Bali. Makhluk ini berwajah menyeramkan dengan disertai dengan dua calingnya yang tajam. Biasanya, karakter ini sering menculik serta memakan anak kecil. Rangda merupakan pemimpin pasukan nenek sihir yang jahat untuk memerangi Barong (simbol kekuatan baik).

Maka dari itu, kita tidak boleh meremehkan budaya-budaya yang telah diwariskan, dan jangan pula berbuat jahat kepada siapapun agar tidak selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sekian artikel mengenai Misteri Barong Bali. Jangan lupa berkomentar ya dibawah ini mengenai topik yang satu ini. Jangan lupa share jugaa yaa. Terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Tuesday, April 11, 2017

Tradisi Nyakan Diwang? Dari daerah mana sih asalnya?


Tradisi di Bali memanglah sangat banyak, diantaranya pun ada yang ada yang aneh mungkin menurut kalian. Tetapi, diantara keanehan dan keunikan tersebut, hal itu dilakukan karena memang sudah menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang dan sudah menjadi tradisi didaerah tersebut. Seperti halnya TRADISI NYAKAN DIWANG, pernahkan anda mendengar kalimat tersebut? Tahukah anda bagaimana prosesi berjalannya acara tersebut? yuk simak selengkapnya dibawah ini.


Buleleng adalah suatu Kabupaten yang sangat luas daerahnya, selain banyaknya wisata alam dan kuliner yang terdapat didalamnya, terdapat pula tradisi yang sangat menarik didalamnya, seperti TRADISI NYAKAN DIWANG. Berasal dari namanya yaitu Nyakan dan Diwang, kata Nyakan jika dalam bahasa Bali berarti memasak, dan Diwang berarti diluar. Jadi, Nyakan Diwang ini dapat diartikan sebagai kegiatan memasak yang dilakukan diluar pekarangan atau diluar rumah. Tradisi ini digelar pada saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Hari Nyepi, di beberapa Desa di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, salah satunya yaitu Desa Kayuputih.

BACA JUGA : TRADISI PERANG PANDAN DI KARANGASEM

Tradisi yang digelar ini sangatlah berbeda dengan tradisi lainnya yang ada di Bali. Pada saat Nyiperng telah berakhir, pukul 24.00 wita lampu yang menyinari seluruh rumah mulai menyala. Suasana yang sebelumnya gelap gulita dan tenang kini telah berubah menjadi terang benderang. Pada saat inilah warga mulai keluar dari rumah. Mereka sibuk menyiapkan alat masak untuk dibawa keluar rumah dan melakukan kegiatan "Nyakan Diwang". Hal tersebut dilakukan secara serempak oleh seluruh masyarakat. Anak-anak pun tidak ingin melewatkan kegiatan unik yang rutin digelar setiap tahun ini. Pada saat melakukan Tradisi Nyakan Diwang, selain ada yang sibuk menghidupkan api, ada juga yang hanya mengobrol dan bercanda dengan orang tuanya.

Saat keadaan itulah suasana dan rasa kekeluargaan mulai terasa. Antara warga satu dan warga lainnya pun saling mengunjungi, lalu bercanda gurau, dan bertegur sapa sambil menghangatkan diri didekat api yang menyala oleh kayu bakar. Selain itu, pria kalangan dewasa pun memilih untuk berjalan disekitaran desa dengan berjalan kaki. Seorang warga menjelaskan, bahwa  Tradisi Nyakan Diwang ini sudah ada dari dulu dengan turun temurun. Belum diketahui secara pasti kapan tradisi tersebut ini muncul. Meskipun demikian, masyarakat didaerahnya pun tetap rutin menjalankannya setiap tahun. ungkapnya.



Tradisi Nyakan Diwang ini sangat unik dan baik untuk diajalankan, karena selain dapat menikmatinya bersama keluarga, kita juga mendapatkan banyak hal positif bagi masyarakat yang melaksanakannya. Seperti; mendekatkan diri dengan warga lainnya, agar hubungan didalam keluarga lebih erat dan harmonis. Tetapi, karena diiringi dengan perkembangan jaman, beberapa masyarakat hanya memilih untuk menghidupkan api pada tungku yang sudah disiapkan diluar rumah pada saat pengrupukan, sementara kegiatan memasak dilakukan ditempat biasa, yaitu di dapur. Tokoh masyarakat yaitu I Wayang Suteja, mengatakan bahwa kegiatan Nyakan Diwang sudah dilakukan sejak 1950-an, yaitu pada saat dirinya masih menduduki bangku Sekolah Dasar (SD). Orang tuanya mengaku tidak mengetahui asal-muasal kemunculan Tradisi tersebut.

Selain itu, Bendesa Desa Adat Kayuputih yaitu Jero Nyoman Oka mengatakan, "Selain digunakan untuk media silahturahmi, tradisi ini juga dapat dikaitkan dengan penyucian diri. Karena pada jaman dahulu, sejumlah warga ada yang melaksanakan Nyepi di dalam pekarangan, serta ada juga yang melaksanakannya di luar pekarangan. Nah, pada saat warga yang melakukan Penyepian diluar pekarangan ini berkunjung ke warga yang melakukan kunjungan ke warga yang melakukan kegiatan di dalam pekarangan, disambut dengan api terlebih dahulu sebelum masuk kedalam rumah. Hal ini bertujuan untuk penyucian, api itu sekalian digunakan untuk memasak oleh warga. Terangnya.

Selain Tradisi Nyakan Diwang, Tradisi yang ada didaerah kalian pun harus diperhatikan dan dilestarikan agar anak dan cucu kita nanti dapat mengetahuinya. Sekian artikel mengenai TRADISI NYAKAN DIWANG, semoga dapat menambah wawasan anda, dan semoga berguna untuk kedepannya. Terima kasih telah berkunjung, mohon maaf bila ada kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. sekali lagi terima kasih.

Friday, April 7, 2017

Tradisi Perang Apii

Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik, Kalian sudah tahu bukan, di Bali terdapat banyak aneka ragam tradisinya di wilayah masing-masing. Nah, bagaimana jadinya jika tradisi itu berupa perang? mungkin bakal hancur ya daerah itu, hehe. Enggak sampe hancur kok perang ini cuma sederhana, ingin tau perang apa itu? yuk simak di bawah ini. Mungkin, jika kalian mendengar kata perang pikiran anda langsung tertuju pada jaman dahulu atau sebelum Indonesia merdeka. Nah, bagaimana jika perang itu dilakukan setiap tahunnya? bahkan perang ini merupakan tradisi di daerah Karangasem, yaitu tepatnya di Desa Jasri. Perang apakah itu?


Sering disebut dengan Terteran, Perang ini merupakan perang yang menggunakan api sebagai senjatanya. Wahh, serem juga yah, Perang Api ini digelar setiap dua tahun sekali yaitu pada tahun bilangan genap, hal ini terkait dengan digelarnya upacara desa Aci Muu-Muu yang diselenggarakan setiap Pangerupukan yang jatuh pada Tilem Kesanga, atau sehari sebelum Hari Nyepi. Tradisi ini dilakukan untuk menetralisir roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia.

BACA JUGA : TRADISI UNIK PERLOMBAAN KERBAU

Perang Api diawali dengan sekitar 50 orang laki-laki, baik tua maupun muda dari para pemangku, prajuru desa dan beberapa pengikut lainnya, pakaian yang digunakan berupa kain putih serta kepala yang terikat oleh daun enau lalu berangkat dengan berjalan kaki menuju ke Pantai Jasri yang berlokasi sekitar 500 meter di sebelah desa untuk melarung caru. Mereka lalu kembali ke desa pada saat malam hari ketika gelap gulita menyelimuti bumi. Tak ada satupun cahaya penerang yang terlihat pada saat itu, baik di jalan maupun di rumah. Pada saat memasuki perempatan jalan, tepatnya di Patung Salak, mereka yaitu pembawa caru atau sering disebut dengan Wong Bedolot itu dihadang serta dilempari dengan obor oleh puluhan warga desa. Lemparan obor ini dilakukan sebagai bentuk penetralisiran, karena pada saat kembalinya dari kegiatan melarung dipercaya bahwa masih diikuti oleh beberapa roh jahat yang dapat mengganggu lingkungan, dan jika tidak atau belum dinetralisir para Wong Bedolot tidak boleh memasuki wilayah desa.



Pada saat itu, suasana yang tergambar pun sangat kelam dan tegang, apalagi disertai dengan tanpa adanya penerangan, jadi merinding dehh. Pelemparan obor dilakukan di tiga lokasi sepanjang jalan dari pantai menuju ke Puri Bale Agung. Pada saat dilempari obor, para Wong Bedolot tidak boleh melawan, hanya diperbolehkan untuk menangkis menggunakan obor yang mereka bawa. Jika obor yang digunakan untuk melempar itu telah habis, Wong Bedolot pun sudah terlepas dan bebas dari cengkraman lemparan obor dari warga, lalu bergegas dan berlari menuju ke Pura Bale Agung. Setelah para pembawa caru serta pengiringnya sampai di Pura Bale Agung, sekitar jam 19.00 barulah digelar yaitu "Perang Api" massal tersebut yang dilakukan di sepanjang jalan raya yang bertepatan di depan Balai Masyarakat Jasri. Medan Perang hanyalah boleh digunakan oleh dua kelompok yang saling berhadapan yaitu kearah utara-selatan yang dipisahkan oleh batas wilayah berupa bentangan daun enau yang diikat di dua buah penjor yang saling berhadapan pula di sebelah timur dan barat jalan raya.

Api yang digunakan untuk perang tersebut berupa obor yang berupa seikat daun kelapa yang telah kering dan berukuran sekitaran 80 cm. Di dalam ikatan daun kelapa tersebut terdapat sebatang kayu yang berukuran seperampat dari panjang obor yang digunakan, dimaksudkan agar lemparan jauh lebih cepat dan keras. Para pelaku adalah laki-laki baik tua maupun muda yang tidak mengenakan baju, yaitu hanya mengenakan kain atau celana.  Perang dimulai dengan tanda berupa peluit yang dibunyikan oleh petugas Terteran, mereka menyerang dan saling lempar dengan bergantian. Api dari obor itu pun terbang kesana kemari dari atas maupun bawah, bahkan sampai mengenai tubuh teman sendiri. Semburan api dari obor tersebut pun sangat indah bagaikan kunang-kunang di kegelapan malam.

Peperangan bisa mencapai sekitar satu jam, dan berlangsung hingga babak ke tiga. Para peserta berhenti melakukan kegiatan lempar melempar ketika peluit dibunyikan saat berakhirnya babak ketiga, dan peperangan berakhir ketika api pada obor tersebut telah padam. Perang tanding Terteran tidak hanya dilakukan pada saat Pangerupukan, tetapi setelah dua harinya yaitu pada saat Ngembak Geni kembali dilaksanakan. Hal itu dilakukan kembali untuk memberikan kesempatan bagi warga yang belum sempat menyaksikan atau mengikuti perang tanding tersebut.


Selain di Desa Jasri, Perang Api juga dilaksanakan di Banjar Saren Kauh, Bebandem, Karangasem. Tetapi, disana sedikit berbeda, yaitu pada obor yang dipakai, yaitu menggunakan sambuk. Pelaksanaan perang ini pada saat Tilem Kedasa, Lampu jalan di wilayah tersebut pun dipadamkan, suasana menjadi memanas ketika sejumlah pemuda saling bertatap muka di depan Pura Sega, tak sedikitpun perasaan mereka gentar saat akan dilakukan peperangan tersebut. Tanpa diawali dengan tanda apapun, tiba-tiba ada seorang pemuda yang melempar serabut kelapa kering yang telah dibakar ke arah lawannya, sehingga ada salah seorang peserta mengenai punggungnya. Lalu, lemparan tersebut dibalas dengan lemparan yang sama pula, aksi itupun berlanjut dan menyita perhatian warga sekitar. Sesekali teriakan penonton terdengar mengejek pada saat lemparan tidak mengenai sasaran. Meski begitu, tak ada satupun para pemuda yang melakukan perkelahian.




Para peserta yang terlibat peperangan itu sama sekali tidak melengkapi dirinya dengan pelindung. Meskipun sakit atau pegal-pegal yang dirasa, Perang Api ini pun sama sekali tidak menyisakan dendam di hari para peserta. Para Pemuda melakukan pergelaran Perang Api hanya sebagai ritual semata, dan memang disengaja untuk tidak menyalakan lampu saat peperangan berlangsung agar tidak saling mengenali satu sama lain. Perang api ini sudah menjadi tradisi masyarakat dusun adat setempat, para pendahulu dusun adat itu tidak tahu tahun berapa ritual itu dimulai pertama kali. Namun, mereka mempercayai bahwa ritual tersebut mampu mendatangkan kedamaian bagi masyarakat setempat.

Seorang pemangku di Pura Batur yang berlokasi di Desa Adat Saren mengungkapkan, ritual Terteran dilakukan pada saat bulan mati, yaitu pada rangkaian "Usabha Dalem" di Pura Sega. Rangkaian tersebut diperingati setiap tahun, tetapi Terteran dilakukan tiga hari berturut-turut hanya satu kali dalam dua kali perayaan Usabha Dalem. Maka dari itu, tidak heran jika masyarakat selalu menantikan perang tersebut. Sekianlah informasi mengenai TRADISI PERANG API. Terimakasih telah berkunjung, semoga dapat menambah wawasan anda dan berguna kedepannya. Mohon maaf bila ada kesalahan, jika ada saran dan kritik bisa disampaikan melalui kolom komentar dibawah ini. Jangan Lupa SHARE ya, biar kita yang tinggal di wilayah Bali tidak lupa akan Tradisi di wilayah masing-masing.

Sumber : _pandejuliana_

Thursday, April 6, 2017

Tradisi Mbed-mbedan di Desa Adat Semate, Mengwi, Badung.

Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik, kalian sudah tahu kan tidak sedikit tradisi yang sering dilaksanakan oleh umat Hindu, terutama di Bali, seperti contohnya : tradisi Makepung di Jembrana, Tradisi Perang Pandan di Karangasem, dan banyak tradisi lainnya. Tetapi, dari itu semua ada beberapa tradisi unik yang akan kita bahas nanti, tradisi apakah itu? yuk simak di bawah ini.

Masyarakat yang tinggal di daerah Kapal, tepatnya di Desa Adat Semate, mempercayai mengenai Tradisi yang hampir sama dengan tarik tambang, yang merupakan warisan turun-temurun dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Tradisi yang satu ini diadakan setiap satu tahun sekali, tepatnya pada saat sehari setelah NYEPI atau biasa disebut dengan Ngembak Geni. Konon, Tradisi ini sudah ada sekitaran 1474 Masehi yaitu pada saat melakukan kegiatan melaspas saat berdirinya Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Semate.

BACA JUGA : TRADISI PERANG API

Tradisi ini sering disebut dengan Mbed-mbedan. Tradisi Mbed-Mbedan sempat tidak dilaksanakan selamat bertahun-tahun, lalu Tradisi Mbed-mbedan kembali dilaksanakan pada tahun 2011 pada sasih kedasa, tepatnya pada saat Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Nyepi. Tradisi ini dilaksanakan guna untuk memohon keselamatan dan anugerah dari Hyang Betara. Dengan menghaturkan upakara berupa daksina suci pada Pura uang menjadi sungsungan di Desa Adat Semate.

Sebelum melaksanakan kegiatan perang ini kembali, para tokoh masyarakat menelusuri kegiatan tersebut, dengan melakukan penelusuran sejarah Desa Adat Semate sampai ke Ahli Lontar di daerah Munggu dan Kapal, Mengwi. Selanjutnya, setelah enam tahun melakukan penelusuran, akhirnya asal usul Desa Adat Semate pun ditemukan dalam Kitab Raja Purana, dengan dikisahkannya yaitu seorang Rasi yang melakukan perjalanan suci ke sebuah hutan angker yang banyak ditumbuhi oleh Kayu Putih.


Rsi tersebut bernama Rsi Mpu Bantas. Di hutan tersebut beliau lalu bertemu dengan para keturunan dari Mpu Gnijaya lalu bertanya "mengapa mereka berada di wilayah hutan yang ditumbuhi kayu putih ini?", lalu keturuanan dari Mpu Gnijaya itu pun menjawab, bahwa mereka berada ditempat iru karena mereka tidak sependapat dengan tindakan dari rajanya. Lalu, karena Rsi Mpu Bantas mengetahui bahwa hutan tersebut angker, maka beliau lantas menyarankan keturunan Mpu Gnijaya untuk membuat tempat pemujaan agar selamat dari marabahaya yang terdapat di hutan tersebut.
Medengar hal tersebut dan beberapa pengarahan dari Rsi Mpu Bantas, keturunan dari Mpu Gnijaya tersebut pun membuat tempat pemujaan. Setelah selesai membuat, orang-orang pun melakukan pertemuan untuk menentukan nama dari Pura tersebut. Tetapi, pertemuan tersebut tidak berlangsung dengan lancar dan terjadilah tarik ulur antara warga yang mengikuti pertemuan tersebut. Setelah beberapa saat dan nama pun belum ditentukan, Rsi Mpu Bantas lalu memberikan saran Nama dari tempat pemujaan tersebut yaitu "Putih Semate", dinamakan demikian karena "Putih" didapat pada kayu-kayu yang tumbuh diwilayah tersebut yang berwarna putih, dan "Semate" diambil karena keturunan dari Mpu Gnijaya telah bersatu di dalam pikiran, serta tidak mau tunduk dengan orang lain.

Setelah kejadian tersebut, tempat pemujaan yang telah menjadi Pura itu dan desa tersebut pun diupacarai pada tahun Çaka 1936. Sebelum Rsi Mpu Bantas meninggalkan Desa Semate, beliau berpesan bahwa "Hai anak-anakku sekalian, Karena dalam mengadakan musyawarah selalu terjadi tarik ulur dalam mengambil suatu keputusan, wajib kalian melakukan upacara Mbed-mbedan setiap tahunnya, yaitu pada sasih kedasa tanggal pisan atau  Sehari setelah nyepi, untuk memohon keselamatan dan anugerah Hyang Betara dengan menhaturkan upakara berupa daksina suci pada Pura yang telah menjadi sungsungan kalian dan lengkap dengan segehan".

Kejadian tarik ulur saat musyawarah tersebut merupakan cikal bakal terjadinya tradisi Mbed-mbedan tersebut, jika dalam bahasa Indonesia berarti "saling Tarik". Tradisi ini selalu diingat dan dilaksanakan untuk menghormati Rsi Mpu Bantas dalam mengambil suatu keputusan. Tradisi Mbed-mbedan ini pertama kali dilaksanakan sekitaran Çaka 1936 atau tepatnya pada 1474 Masehi yaitu saat dilakukan Pemlaspasan berdirinya Pura kahyangan tiga di Desa Adat Semate, Abianbase, Mengwi, Badung. Selanjutnya, tradisi ini sempat ditiadakan hingga puluhan tahun lamanya, dan kemudian dilaksanakan kembali pada tahun 2011 yang bertepatan dengan sasih kedasa, yaitu sehari setelah Hari Nyepi.

Tradisi ini hampir sama dengan sebuah perlombaan tarik tambang, tetapi yang dipakai tidaklah tali tambang, namun batang pohon yang menjalar, masyarakat Semate menyebutnya dengan bun kalot, tumbuhan itu tumbuh di kuburan desa Semate.

Sebelum melakukan Mbed-mbedan, dimulai dengan melakukan persembahyangan di Pura Puseh/Desa. Warga Desa Adat Semate yang terdiri dari 65 KK itu masing-masing membawa sarana upacara berupa tipat bantal untuk dipersembahkan kepada Ida Betara. Peserta yang ikut serta dalam tradisi ini tak hanya diikuti oleh anak muda, orang tua laki-laki maupun perempuan pun ikut serta dalam melakukan Tradisi Mbed-mbedan ini. Tradisi Mbed-mbedan dilakukan di depan Pura tepatnya di jalan Raya Kapal, pada saat melakukan kegiatan Mbed-mbedan ada beberapa warga yang bertugas menggelitik tubuh peserta. Permainan akan selesai dan kelompok yang berhasil menarik tali yang dipegang lawan dinyatakan menang. Demikianlah Sejarah dari Tradisi Mbed-mbedan, semoga dapat menambah wawasan anda dan berguna untuk kedepannya. Terimakasih telah berkujung, dan mohon maaf bila ada kesalahan, jika ada masukan, saran, atau kritik bisa disampaikan melalui kolom komentar dibawah.

Monday, April 3, 2017

Tradisi unik Perlombaan Kerbau

Hai, apa kabar? semoga dalam keadaan baik, absen dulu, kalian dari daerah mana aja nih? ditempat kalian pasti mempunyai tradisi masing-masing bukan? nah, di daerah mimin nih ada perlombaan kerbau. Kalian pernah menonton perlombaan kerbau tidak? Nah, di Bali ada nih suatu perlombaan dengan menunggangi kerbau, tau kah anda daerah mana yang saya maksud? yuk simak selengkapnya dibawah ini.



Tradisi Makepung telah  dikenal dari dahulu, yaitu pada saat masyarakat melakukan pemindahan hasil panen dari sawah menuju ke rumah. Saat berangkat ke sawah, pedati yang belum berisi muatan hasil panen akan terasa lebih ringan, pedati ini ditarik oleh sepasang kerbau. Pada saat itulah pengendara dari pedati tersebut memacu kerbaunya, lalu setelah saat itulah datang inspirasi untuk mengadakan Tradisi Makepung. Berasal dari namanya yaitu Makepung (mengejar) tradisi ini adalah kegiatan perlombaan yang saling kejar-mengejar dengan menggunakan sepasang kerbau yang ditunggangi oleh satu orang, baik pria maupun wanita. Pada perlombaan ini, tidaklah menggunakan pecut, tetapi memakai tongkat rotan bergerigi terbuat dari paku-paku tajam yang dilekatkan pada tongkat tersebut. Pedati yang digunakan tidaklah seperti yang digunakan pada saat mengangkut hasil panen, tetapi hanyalah pedati kecil yang hanya muat untuk seorang pengendara (joki dari pedati tersebut).

Dalam Tradisi ini terdapat beberapa peraturan, peraturan yang disediakan sangatlah unik, karena pemenang lomba bukanlah ditentukan dari siapa yang mencapai garis finish terlebih dahulu, tetapi ditentukan oleh jarak yang dibuat antar peserta lomba dengan lawannya. Pemenang Makepung ditentukan jika yang berada pada posisi pertama berhasil menjaga jarak lawannya di belakang sejauh 10 meter. Jika peserta dibelakangnya dapat mengecilkan jarak atau kurang dari 10 meter, maka peserta dibelakang yang berhasil mengurangi jarak kurang dari 10 meter tersebutlah yang menjadi pemenangnya. Mengenai arena, Arena Makepung ini berbentuk huruf U yang memiliki panjang mencapai 2 kilometer.
Tradisi Makepung di Bali sering dijadikan agenda dengan skala yang cukup besar dengan melibatkan banyak peserta dan pastinya disertai juga dengan banyak kerbau yang digunakan. Seperti halnya Gubernur Cup peserta yang diikutsertakan dapat mencapai 300-350 pasang kerbau, peserta yang terlibat pun dari banyak kalangan, mulai dari petani, pengusaha, bahkan pejabat negara pun dapat mengikuti tradisi yang unik ini. Selain kejar-kejaran antar kerbau yang ditampilkan, beberapa rombongan musik pun diundang untuk memeriahkan acara, seperti rombongan pemusik gamelan yang khas dari Bali.

Biasanya, untuk perlombaan Makepung tingkat Kabupaten di Jembrana ini dimulai pada bulan Agustus, sedangkan untuk perlombaan Makepung tingkat Provinsi adalah bulan Oktober. Saat ini, Tradisi Makepung di Jembrana sudah sangat terkenal, baik di Bali maupun di luar Bali, maka dari itu kita harus pandai dalam menjaga, dan melestarikannya. Begitupun tradisi di daerah kalian masing-masing, agar dijaga dengan baik agar tidak terlupakan seiring perkembangan jaman. Sekian artikel mengenai TRADISI MAKEPUNG, semoga bermanfaat dan berguna kedepannya. Terimakasih telah berkunjung, mohon maaf bila ada kesalahan, baik disengaja maupun tidak sengaja.



Sunday, April 2, 2017

Tradisi Perang Pandan di Karangasem

Hai, apa kabar? semoga sehat selalu, info dong kalian tinggal di daerah mana aja nih? nah, di setiap daerah kalian pasti punya tradisi masing-masing kan? begitupun di Bali, pastilah mempunyai tradisinya masing-masing, seperti Omed-omedan, Tau kah anda, dari mana awalnya Tradisi Mageret Pandan itu? Nah, yuk simak selengkapnya dibawah ini.

BACA JUGA TRADISI MBED-MBEDAN DI DESA ADAT SEMATE, MENGWI, BADUNG

Desa Tenganan, memiliki luas kurang lebih sekitar 900 hektar, terdapat banyak keunikan yang melekat didalamnya. Salah satunya yaitu Tradisi Mageret Pandan atau Perang Pandan.Mageret Pandan dapat juga disebut dengan istilah Makere-kere, Tradisi Mageret Pandan ini dapat dikelompokkan kedalam tari sakral yang hanya bisa di pentaskan pada waktu yang sudah ditentukan. Mageret Pandan dilakukan sebagai bentuk persembahan khususnya untuk Dewa Indra, karenna upacara ini menganut ajaran Agama Hindu aliran Indra, yaitu dikenal sebagai Dewa Kemakmuran dan Dewa Perang.



Dalam Peperangan ini, alat utama yang digunakan yaitu tameng / perisai, dan daun pandan. Tameng / perisai ini terbuat dari rotan, sedangkan Pandan adalah tumbuhan yang memiliki duri-duri yang sangat tajam pada daunnya. Sebelum melakukan Tradisi Perang Pandan ini, kita haruslah dimulai dengan mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, lalu ritual minum TUAK atau sering disebut dengan LAU. Bambu adalah sebagai tempat yang sering digunakan untuk dijadikan sebagai tempat tuak, lalu dituangkan ke dalam daun pisang yang digunakan sebagai gelasnya. Peserta akan menunangkan tuak tersebut ke daun pisang, secara bergantian sehingga akan terjadi pertukaran tuak antara satu dengan peserta lainnya.

Dalam pakaian, peserta dapat menggunakan kamen, selendang atau saput, udeng, dan bertelanjang dada tanpa menggunakan baju. Masing-masing peserta  kan membawa seikat pandan berduri di tangan kanannya, dan lengkap dengan perisai berupa anyaman yang dibentuk dari rotan ditangan kiri. Perang ini dimulai setelah Pemangku memberikan aba-aba sebagai tanda dimulainya perang tersebut, lalu peserta akan menari-nari dan memukulkan pandan berduri kepada lawannya, lalu kedua belah pihak saling serang menyerang. Mereka akan memukul punggung lawan setelah merangkulnya terlebih dahulu. Kemudian setelah merangkulnya barulah mereka saling pukul memukul punggung lawan menggunakan daun pandan yang penuh dengan duri tajam tersebut.

Setelah Perang tersebut selesai, Luka yang disebabkan oleh pandan tersebut akan diobati oleh obat khusus yang telah disediakan oleh para daha atau pemuda dan pemudi Desa Tenganan, yaitu sebulan sebelum Tradisi Perang Pandan dilakukan. Jika duri pada pandan yang digunakan tersebut tertanam, maka hanya akan diobati dengan cuka, kunyit, dan isen untuk mempercepat pengeringan. Pada saat diobati memanglah perih, tetapi hanya bertahan beberapa menit saja. Demikianlah artikel mengenai Tradisi Mageret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem. Jika kalian ingin melihat Perang tersebut, anda bisa datang dan menyaksikannya langsung di Desa Tenganan, Karangasem. Terimakasih telah berkunjung, dan mohon maaf bila ada kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.

Saturday, April 1, 2017

TRADISI NGUREK Di BALI


Hai, apa kabar semeton? semoga sehat selalu, mungkin anda sudah tau di Bali telah memiliki banyak tradisi yang dilakukan, mulai dari yang umum maupun tidak umum sekalipun. Nah, kali ini saya akan membahas TRADISI NGUREK Di BALI, mungkin semeton ada yang tau atau pernah liat? atau bahkan mungkin ada yang pernah melakukannya? pengen tau kejelasannya? yuk disimak selengkapnya di bawah ini.

Berasal dari kata "UREK" yang berarti tusuk, lalu mendapat imbuhan di awalan menjadi "NGUREK" yang dapat diartikan sebagai Menusuk tubuh diri sendiri dengan keris, atau tombak dalam kondisi kerasukan (kerauhan). Melakukan Ngurek ini, tidak sedikit pun dapat melukai tubuh, karena Ngurek dilakukan pada saat kondisi kerasukan dan diluar kesadaran.



Pada saat kerasukan, roh lain lah yang masuk ke tubuh dan akan memberi kekuatan, sehingga menjadi kebal. Inilah keunikan dari Ngurek tersebut, dan sekaligus menjadi misteri yang sampe sekarang belum bisa dijelaskan. Untuk mencapai klimaks pada saat kerasukan, haruslah melakukan beberapa tahap prosesi ritual. Secara umum, ritual tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu;

1. Nusdus : yaitu merangsang para pelaku Ngurek dengan menggunakan asap yang memiliki aroma wangi dan menyengat agar cepat dirasuki.

2. Masolah adalah tahap menari dengan diiringi lagu-lagu dan suara kecak atau dapat juga diiringi dengan suara gamelan.

3. Ngaluwur : memili arti mengembalikan pelaku Ngurek ke sedia kala dengan cara menyirami butir-butir tirta ke kepala pelaku Ngurek tersebut.


Seperti yang dilakukan didalam pementasan Calonarang, yaitu Ngurek biasanya dilakukan diluar panggung atau diluar Pura utama.Sebelum kegiatan Ngurek ini dilakukan, biasanya Rangda dan Barong serta para Patih yang terdapat dalam pementasan Calonarang itu kerasukan dan keluar dari panggung atau keluar pada Pura utama lalu mengelilingi areal Pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal tersebutlah para pelaku Ngurek mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.

Dalam keyakinan masyarakat Hindu di Bali disebutkan bahwa: "Apapun yang dilakukan dengan pasrah, berserah diri, dan ikhlas kepada Sang Pencipta yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka akan mendapat anugerah dan Karunia yang tak terbatas." Sekian artikel mengenai TRADISI NGUREK di BALI, semoga dapat menambah wawasan anda dan sekaligus berguna untuk kedepannya. Terimakasih atas kunjungan anda.