Friday, April 7, 2017

Tradisi Perang Apii

Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik, Kalian sudah tahu bukan, di Bali terdapat banyak aneka ragam tradisinya di wilayah masing-masing. Nah, bagaimana jadinya jika tradisi itu berupa perang? mungkin bakal hancur ya daerah itu, hehe. Enggak sampe hancur kok perang ini cuma sederhana, ingin tau perang apa itu? yuk simak di bawah ini. Mungkin, jika kalian mendengar kata perang pikiran anda langsung tertuju pada jaman dahulu atau sebelum Indonesia merdeka. Nah, bagaimana jika perang itu dilakukan setiap tahunnya? bahkan perang ini merupakan tradisi di daerah Karangasem, yaitu tepatnya di Desa Jasri. Perang apakah itu?


Sering disebut dengan Terteran, Perang ini merupakan perang yang menggunakan api sebagai senjatanya. Wahh, serem juga yah, Perang Api ini digelar setiap dua tahun sekali yaitu pada tahun bilangan genap, hal ini terkait dengan digelarnya upacara desa Aci Muu-Muu yang diselenggarakan setiap Pangerupukan yang jatuh pada Tilem Kesanga, atau sehari sebelum Hari Nyepi. Tradisi ini dilakukan untuk menetralisir roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia.

BACA JUGA : TRADISI UNIK PERLOMBAAN KERBAU

Perang Api diawali dengan sekitar 50 orang laki-laki, baik tua maupun muda dari para pemangku, prajuru desa dan beberapa pengikut lainnya, pakaian yang digunakan berupa kain putih serta kepala yang terikat oleh daun enau lalu berangkat dengan berjalan kaki menuju ke Pantai Jasri yang berlokasi sekitar 500 meter di sebelah desa untuk melarung caru. Mereka lalu kembali ke desa pada saat malam hari ketika gelap gulita menyelimuti bumi. Tak ada satupun cahaya penerang yang terlihat pada saat itu, baik di jalan maupun di rumah. Pada saat memasuki perempatan jalan, tepatnya di Patung Salak, mereka yaitu pembawa caru atau sering disebut dengan Wong Bedolot itu dihadang serta dilempari dengan obor oleh puluhan warga desa. Lemparan obor ini dilakukan sebagai bentuk penetralisiran, karena pada saat kembalinya dari kegiatan melarung dipercaya bahwa masih diikuti oleh beberapa roh jahat yang dapat mengganggu lingkungan, dan jika tidak atau belum dinetralisir para Wong Bedolot tidak boleh memasuki wilayah desa.



Pada saat itu, suasana yang tergambar pun sangat kelam dan tegang, apalagi disertai dengan tanpa adanya penerangan, jadi merinding dehh. Pelemparan obor dilakukan di tiga lokasi sepanjang jalan dari pantai menuju ke Puri Bale Agung. Pada saat dilempari obor, para Wong Bedolot tidak boleh melawan, hanya diperbolehkan untuk menangkis menggunakan obor yang mereka bawa. Jika obor yang digunakan untuk melempar itu telah habis, Wong Bedolot pun sudah terlepas dan bebas dari cengkraman lemparan obor dari warga, lalu bergegas dan berlari menuju ke Pura Bale Agung. Setelah para pembawa caru serta pengiringnya sampai di Pura Bale Agung, sekitar jam 19.00 barulah digelar yaitu "Perang Api" massal tersebut yang dilakukan di sepanjang jalan raya yang bertepatan di depan Balai Masyarakat Jasri. Medan Perang hanyalah boleh digunakan oleh dua kelompok yang saling berhadapan yaitu kearah utara-selatan yang dipisahkan oleh batas wilayah berupa bentangan daun enau yang diikat di dua buah penjor yang saling berhadapan pula di sebelah timur dan barat jalan raya.

Api yang digunakan untuk perang tersebut berupa obor yang berupa seikat daun kelapa yang telah kering dan berukuran sekitaran 80 cm. Di dalam ikatan daun kelapa tersebut terdapat sebatang kayu yang berukuran seperampat dari panjang obor yang digunakan, dimaksudkan agar lemparan jauh lebih cepat dan keras. Para pelaku adalah laki-laki baik tua maupun muda yang tidak mengenakan baju, yaitu hanya mengenakan kain atau celana.  Perang dimulai dengan tanda berupa peluit yang dibunyikan oleh petugas Terteran, mereka menyerang dan saling lempar dengan bergantian. Api dari obor itu pun terbang kesana kemari dari atas maupun bawah, bahkan sampai mengenai tubuh teman sendiri. Semburan api dari obor tersebut pun sangat indah bagaikan kunang-kunang di kegelapan malam.

Peperangan bisa mencapai sekitar satu jam, dan berlangsung hingga babak ke tiga. Para peserta berhenti melakukan kegiatan lempar melempar ketika peluit dibunyikan saat berakhirnya babak ketiga, dan peperangan berakhir ketika api pada obor tersebut telah padam. Perang tanding Terteran tidak hanya dilakukan pada saat Pangerupukan, tetapi setelah dua harinya yaitu pada saat Ngembak Geni kembali dilaksanakan. Hal itu dilakukan kembali untuk memberikan kesempatan bagi warga yang belum sempat menyaksikan atau mengikuti perang tanding tersebut.


Selain di Desa Jasri, Perang Api juga dilaksanakan di Banjar Saren Kauh, Bebandem, Karangasem. Tetapi, disana sedikit berbeda, yaitu pada obor yang dipakai, yaitu menggunakan sambuk. Pelaksanaan perang ini pada saat Tilem Kedasa, Lampu jalan di wilayah tersebut pun dipadamkan, suasana menjadi memanas ketika sejumlah pemuda saling bertatap muka di depan Pura Sega, tak sedikitpun perasaan mereka gentar saat akan dilakukan peperangan tersebut. Tanpa diawali dengan tanda apapun, tiba-tiba ada seorang pemuda yang melempar serabut kelapa kering yang telah dibakar ke arah lawannya, sehingga ada salah seorang peserta mengenai punggungnya. Lalu, lemparan tersebut dibalas dengan lemparan yang sama pula, aksi itupun berlanjut dan menyita perhatian warga sekitar. Sesekali teriakan penonton terdengar mengejek pada saat lemparan tidak mengenai sasaran. Meski begitu, tak ada satupun para pemuda yang melakukan perkelahian.




Para peserta yang terlibat peperangan itu sama sekali tidak melengkapi dirinya dengan pelindung. Meskipun sakit atau pegal-pegal yang dirasa, Perang Api ini pun sama sekali tidak menyisakan dendam di hari para peserta. Para Pemuda melakukan pergelaran Perang Api hanya sebagai ritual semata, dan memang disengaja untuk tidak menyalakan lampu saat peperangan berlangsung agar tidak saling mengenali satu sama lain. Perang api ini sudah menjadi tradisi masyarakat dusun adat setempat, para pendahulu dusun adat itu tidak tahu tahun berapa ritual itu dimulai pertama kali. Namun, mereka mempercayai bahwa ritual tersebut mampu mendatangkan kedamaian bagi masyarakat setempat.

Seorang pemangku di Pura Batur yang berlokasi di Desa Adat Saren mengungkapkan, ritual Terteran dilakukan pada saat bulan mati, yaitu pada rangkaian "Usabha Dalem" di Pura Sega. Rangkaian tersebut diperingati setiap tahun, tetapi Terteran dilakukan tiga hari berturut-turut hanya satu kali dalam dua kali perayaan Usabha Dalem. Maka dari itu, tidak heran jika masyarakat selalu menantikan perang tersebut. Sekianlah informasi mengenai TRADISI PERANG API. Terimakasih telah berkunjung, semoga dapat menambah wawasan anda dan berguna kedepannya. Mohon maaf bila ada kesalahan, jika ada saran dan kritik bisa disampaikan melalui kolom komentar dibawah ini. Jangan Lupa SHARE ya, biar kita yang tinggal di wilayah Bali tidak lupa akan Tradisi di wilayah masing-masing.

Sumber : _pandejuliana_

0 comments:

Post a Comment

PERHATIAN!!!

SYARAT KOMENTAR :
- Tidak menambahkan link di kolom komentar !.
- Berkomentarlah dengan kata-kata yang baik dan sopan !.
- Berkomentarlah sesuai topik !.